Pertanyaan Minggu 6 (GATS – General Agreement On Trade In Service)
1. Sampai sejauh mana GATS mampu mendorong kemajuan pada perdagangan jasa di tingkat internasional ?
2. Jelaskan dengan mengacu pada kasus-kasus yang menyinggung soal perdagangan jasa yang berdampak pada dunia Internasional.
GATS merupakan seperangkat peraturan multilateral dalam perdagangan jasa internasional yang dibentuk dalam kerangka WTO yang dinegosiasikan pada saat putaran Uruguai 1995. Pembentukan peraturan ini merupakan bentuk respon pertumbuhan dan potensi perdagangan jasa internasional yang semakin berkembang. Saat ini, sector jasa merupakan sector ekonomi global dengan tingkat pertumbuhan tercepat dan merupakan 2/3 output global, dan juga merupakan sector yang menciptakan pekerjaan bagi sepertiga masyarakat di dunia.
Pada awalnya, ide untuk menciptakan peraturan dalam perdagangan jasa internasional dipandang skeptic dan bahkan ditentang oleh beberapa Negara dengan alasan akan mengurangi peluang Negara untuk mengejar kepentingan nasionalnya dan bahkan menghalangi kekuatan dan hak negara untuk untuk mengatur kebijakan negaranya sendiri. Namun, dalam perkembangannya GATS dalam kerangka WTO mampu menghadirkan kerangka peraturan dan komitmen akses pasar dengan level fleksibilitas yang tinggi.
Mengingat sector jasa merupakan sector yang potensial, maka penting kiranya keberadaan sebuah kerangka peraturan yang mengaturnya. Tidak adanya kerangka / skema yang mengatur perdagangan jasa akan membahayakan jika seandainya terjadi konflik kepentingan antarnegara dalam perdagangan jasa ini. Dan disinilah peran GATS sebagai kerangka legal dalam mengatur dan menciptakan iklim perdagangan jasa yang sehat dan berlaku sama bagi semua anggotanya.
Adapun beberapa prinsip dasar GATS adalah:
a. Semua jasa diatur di dalam GATS
b. Most-favoured nation juga berlaku pada semua jasa, kecuali dengan pengecualian tertentu
c. Transparansi dalam kebijakan
d. Kebijakan harus objektif dan beralasan
e. Progressive liberalization melalui negosiasi
GATS dengan prinsip-prinsip dan program liberalisasi perdagangan jasanya inilah yang menjamin seluruh negara anggotanya berada dalam kerangka perdagangan jasa yang sama, hal ini akan mendorong perdagangan internasional yang semakin kompetitif dan inovatif. Karena, tanpa hambatan yang diberlakukan Negara, arus jasa akan mengalir dengan mudah dan mendorong masing-masing Negara untuk berproduksi dengan lebih variatif dan kompetitif.
Selain itu terdapat kewajiban bagi Negara yang telah mengikatkan diri untuk mematuhi prinsip-prinsip dan kebijakan yang diatur dalam GATS. Dan Negara-negara anggota memiliki hak untuk mengadukan diskriminasi yang dia terima dari Negara anggota lain yang dianggap telah melanggar GATS atau tindakan lain yang menyalahi aturan GATS. Misalnya:
a. Dalam kasus kebijakan Jepang yang mempengaruhi distribusi jasa yang dikomplain oleh Amerika Serikat pada 13 Juni 1996. Kebijakan ini dilakukan melalui “Large-Scale Retail Store Law” yang meregulasi tentang jam bisnis dan hari libur supermarket. Diduga Jepang melanggar artikel III GATS (transparansi) dan article XVI GATS (akses pasar).
b. Complain Uni Eropa pada 20 Januari 1998 terhadap kebijakan Kanada yang mempengaruhi distribusi film yaitu kebijakan 1987 Kanada terkait distribusi film yang diberlakukan pada perusahaan-perusahaan film dari Eropa. Kanada diduga melanggar artikel II dan III GATS.
c. Complain dari Amerika Serikat terhadap ketidakkonsistenan Meksiko terhadap komitmen dan kewajiban yang diatur dalam GATS, dalam bidang jasa telekomunikasi. Meksiko memberlakukan kebijakan anti-kompetitif dan kebijakan diskriminasi di sector telekomunikasi.
d. Complain Amerika Serikat pada 5 eptember 2010 kepada China tentang hambatan yang diberlakukan China dalam hal jasa pembayaran elektronik untuk payment card transaction. Dan masih dalam negosiasi hingga 25 Maret 2011.
Keberatan-keberatan ini akan diproses oleh Council dengan mekanisme arbitrasi. Dan setelah diadakan negosiasi, maka Council akan memberikan keputusan yang sifatnya final dan mengikat bagi Negara anggota tersebut.
Jadi,keberadaan GATS membuat perdagangan jasa antar Negara menjadi semakin terjamin, karena terdapat aturan main yang berlaku sama bagi semua Negara anggota. Sehingga Negara-negara anggota tersebut memiliki hak untuk memperjuangkan kepentingannya apabila terjadi over-lapping kepentingan dengan Negara lain. Dengan kata lain, jika seandainya yang dirugikan dalam perdagangan jasa adalah Negara berkembang berhadapan dengan Negara maju, Negara berkembang masih memiliki peluang untuk memperjuangkan kepentingannya melalui GATS. Karena masing-masing Negara baik maju maupun berkembang diperlakukan sama di dalamnya.
Selain itu, GATS juga melahirkan perdagangan internasional yang lebih kompetitif, dengan bebasnya jalur jasa antar Negara tidak dibatasi dengan hambatan-hambatan, jasa dari masing-masing Negara akan masuk dengan bebas, hal ini menjadi semakin trigger bagi Negara untuk mendorong pasar domestiknya untuk menghasilkan produk yang lebih baik. Tidak hanya itu, jasa yang dihasilkan juga akan lebih variatif, sehingga konsumen jasa diberbagai Negara bisa memilih produk jasa yang dinilai paling baik dan kompetitif.
GATS juga mendorong masuknya FDI ke Negara-negara dengan potensi perdagangan jasa yang menjanjikan. Masuknya FDI terutama ke Negara-negara berkembang akan memberikan manfaat bagi Negara tersebut. Tidak hanya dari sector lapangan pekerjaan, Negara juga berkemungkinan untuk menerima transfer teknologi, sehingga pada akhirnya Negara tersebut dapat mandiri dan juga mampu meningkatkan efesiensi jasanya dalam konteks perdagangan jasa dengan Negara lain.
Meskipun GATS mampu mendorong perdagangan internasional menuju liberalisasi. Peran strategis Negara dalam mengatur jasa dalam negeri masih sangat dibutuhkan. Karena digambarkan bahwa GATS lebih fleksible dari segi peraturan dibanding GATT, Negara harus mampu memanfaatkannya untuk semakin memajukan produksi jasa dalam negeri sehingga tidak hanya menjadi “pasar” bagi produk jasa Negara maju.
Referensi:
Kasus pelanggaran GATS dikutip dari:
http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_agreements_index_e.htm?id=A8#selected_agreement
http://www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/serv_e.ht
Selasa, 05 April 2011
POLITIK BISNIS INTERNASIONAL- PRINSIP WTO : APAKAH SUDAH MENCERMINKAN KEBAIKAN DAN KEADILAN BAGI NEGARA ANGGOTANYA
WTO, merupakan sebuah organisasi perdagangan internasional yang dibentuk pada tahun 2005 dan hingga kini telah menaungi 153 negara di dalamnya. Organisasi ini berfungsi sebagai forum bagi kerjasama internasional dalam hal kebijakan perdagangan antarnegara.
Karenanya dalam pelaksanaan tugasnya ini, WTO berupaya untuk membangun skema perekonomian yang sehat bagi semua negara anggota dengan cara membentuk kerangka kebijakan perdagangan yang dapat menfasilitasi kepentingan setiap negara dalam hal perdagangan internasional. Kerangka untuk mengatur kebijakan perdagangan ini tertuang dalam prinsip-prinsip WTO yang menjadi dasar dari sistem perdagangan multilateral.
Terdapat lima prinsip penting dalam WTO, yaitu :
a. Nondiscrimination
Dalam prinsip nondiscrimination ini, terdapat dua komponen, yaitu most-favored nation dan prinsip national treatment. Dan intinya, di bawah kesepakatan WTO, negara-negara anggota tidak bisa secara sengaja mendiskriminasi partner dagang mereka. Jika suatu negara memberlakukan “special favor” seperti menurunkan pajaknya terhadap satu negara, maka negara tersebut harus memberlakukan hal yang sama terhadap semua negara anggota WTO
b. Reciprocity
Resiprocity merupakan elemen fundamental dalam proses negosiasi merupakan aturan timbal balik, bila suatu negara mereduksi hambatan perdagangannya, maka negara tersebut juga berhak menerima hal yang sama dari negara lain.
c. Binding & Enforceable Commitment
Prinsip ini berarti bahwa komitmen tarif yang telah dibentuk negara anggota WTO dalam negosiasi perdagangan multilateral memiliki sifat “ceiling binding”, mengikat secara hukum , namun juga bersifat terbatas.
d. Transparency
Merupakan pilar dasar di mana WTO berupaya untuk menciptakan peraturan perdagangan yang jelas dan terbuka. Termasuk di dalamnya kewajiban anggota WTO untuk mempublikasikan regulasi perdagangannya.
e. Safety Valve
Dalam prinsip ini negara diizinkan untuk membatasi perdagangannya dalam kondisi tertentu.
Dan pertanyaannya, apakah prinsip-prinsip ini telah mencerminkan keadilan dan kebaikan baik semua anggotanya terutama negara-negara miskin dan negara berkembang?
Jika dikaji satu persatu, sebenarnya prinsip-prinsip WTO telah mempertimbangkan kondisi-kondisi yang mungkin terjadi terutama pada negara miskin dan berkembang, dalam rangka menciptakan perdagangan yang adil, terbuka dan menghindari persaingan yang tidak sehat antar negara.
Misalnya pada prinsip pertama, nondiscrimination. WTO juga memberlakukan beberapa pengecualian. Misalnya, negara bisa membentuk kesepakatan pasar bebas yang hanya berlaku pada barang-barang yang diperdagangkan di dalam grup. Selain itu, WTO juga bisa memberikan akses spesial kepada negara berkembang ke dalam pasar negara lain. atau suatu negara juga bisa memberlakukan “barier” terhadap produk yang dianggap diperdagangkan secara tidak adil dari negara tertentu. Dan untuk sektor jasa, dalam kondisi tertentu negara juga diizinkan untuk melakukan diskriminasi. Walaupun kesepakatan WTO hanya memperbolehkan pengecualian ini dalam kondisi-kondisi tertentu yang sangat strict.
Dan berkaitan dengan national treatment, prinsip ini hanya berlaku jika barang, jasa atau item properti intelektual itu telah memasuki pasar. Selain itu, pembebanan pajak atas produk impor juga bukan bentuk pelanggaran dari prinsip national treatment bahkan bila produk lokal tidak dibebankan pajak. Jadi, negara berkembang tetap bisa melindungi produk dalam negerinya dengan pemberlakuan pajak impor.
Selain itu, prinsip tentang pasar bebas yang dianjurkan oleh WTO juga dilakukan secara bertahan dan juga melalui negosiasi. Jadi tidak serta merta langsung harus diterapkan negara segera setelah negara itu bergabung dengan WTO. Dalam kesepakatannya, WTO membolehkan negara memperkenalkan perubahan perdagangan tersebut secara bertahap melalui “progressive liberalization”. Di mana dalam hal ini negara berkembang biasanya diberikan waktu yang lebih lama untuk memenuhi kewajibannya ini. Namun, negara maju dituntut harus segera memberlakukannya.
Dalam kondisi tertentu, sistem WTO juga memungkinkan tarif, begitupun kebijakan proteksi, WTO juga memberikan izin dalam kondisi tertentu. Hal ini dilakukan WTO untuk membentuk sistem aturan yang terbuka, adil, dan kompetisi yang tidak sehat. Kompetisi terjadi antar negara yang telah siap untuk berkompetisi. Terkait dengan prinsip binding, negara juga diperbolehkan mengubah binding nya, namun hanya setelah bernegosiasi dengan partner dagangnya. Hal ini berarti WTO memungkinkan upaya kompensasi untuk menghindari kerugian pada saat melakukan perdagangan.
Namun, walaupun prinsip WTO ini sudah dibuat dengan penuh pertimbangan dengan melihat kondisi-kondisi negara yang tidak sama, prinsip WTO ini masih memiliki kelemahan yang membuatnya menjadi tidak adil. Misalnya, dalam prinsip most-favoured nation. Dalam prinsip ini, dimungkinkan untuk mengurangi biaya negosiasi, karena negosiasi cukup dilakukan dengan beberapa negara saja. Dan keputusan akan berlaku pada semua negara. Walaupun secara ekonomi, biaya untuk melakukan pertemuan bisa dikurangi. Namun hal yang paling esensi dalam proses pengambilan keputusan adalah melibatkan semua pihak-pihak yang tergabung di dalamnya. Sehingga walaupun pada akhirnya keputusannya tetap sama, setidaknya negara berkembang / negara miskin memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasi atau setidaknya mendapatkan pengecualian atas kebijakan tertentu.
Selain itu, walaupun prinsip-prinsip WTO ini secara tertulis telah mencerminkan kebaikan dan keadilan bagi negara anggotanya. Kenyataan dan realita di lapangan bisa saja berkata lain. Hingga hari ini, negara-negara maju seperti negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa sendiri yang melanggar prinsip-prinsip WTO. Kebanyakan negara Eropa “Keynes at home, Smith abroad”. Uni Eropa melindungi produksi dalam negerinya namun untuk penjualan produknya ke luar negeri mengharapkan pasar bebas seluas-luasnya. Hal inilah yang sangat membebani negara berkembang, di mana mereka dituntut untuk membuka pasar domestiknya untuk produk asing , namun distribusi produk mereka ke luar negeri dibatasi oleh negara maju. Sebuah ironi memang, bahwa ketika negara berkembang dan negara miskin selalu menjadi pihak yang dituntut harus mengikuti semua aturan yang mereka dibuat dengan negara maju, Negara maju malah menjadi pihak yang melanggarnya
Karenanya dalam pelaksanaan tugasnya ini, WTO berupaya untuk membangun skema perekonomian yang sehat bagi semua negara anggota dengan cara membentuk kerangka kebijakan perdagangan yang dapat menfasilitasi kepentingan setiap negara dalam hal perdagangan internasional. Kerangka untuk mengatur kebijakan perdagangan ini tertuang dalam prinsip-prinsip WTO yang menjadi dasar dari sistem perdagangan multilateral.
Terdapat lima prinsip penting dalam WTO, yaitu :
a. Nondiscrimination
Dalam prinsip nondiscrimination ini, terdapat dua komponen, yaitu most-favored nation dan prinsip national treatment. Dan intinya, di bawah kesepakatan WTO, negara-negara anggota tidak bisa secara sengaja mendiskriminasi partner dagang mereka. Jika suatu negara memberlakukan “special favor” seperti menurunkan pajaknya terhadap satu negara, maka negara tersebut harus memberlakukan hal yang sama terhadap semua negara anggota WTO
b. Reciprocity
Resiprocity merupakan elemen fundamental dalam proses negosiasi merupakan aturan timbal balik, bila suatu negara mereduksi hambatan perdagangannya, maka negara tersebut juga berhak menerima hal yang sama dari negara lain.
c. Binding & Enforceable Commitment
Prinsip ini berarti bahwa komitmen tarif yang telah dibentuk negara anggota WTO dalam negosiasi perdagangan multilateral memiliki sifat “ceiling binding”, mengikat secara hukum , namun juga bersifat terbatas.
d. Transparency
Merupakan pilar dasar di mana WTO berupaya untuk menciptakan peraturan perdagangan yang jelas dan terbuka. Termasuk di dalamnya kewajiban anggota WTO untuk mempublikasikan regulasi perdagangannya.
e. Safety Valve
Dalam prinsip ini negara diizinkan untuk membatasi perdagangannya dalam kondisi tertentu.
Dan pertanyaannya, apakah prinsip-prinsip ini telah mencerminkan keadilan dan kebaikan baik semua anggotanya terutama negara-negara miskin dan negara berkembang?
Jika dikaji satu persatu, sebenarnya prinsip-prinsip WTO telah mempertimbangkan kondisi-kondisi yang mungkin terjadi terutama pada negara miskin dan berkembang, dalam rangka menciptakan perdagangan yang adil, terbuka dan menghindari persaingan yang tidak sehat antar negara.
Misalnya pada prinsip pertama, nondiscrimination. WTO juga memberlakukan beberapa pengecualian. Misalnya, negara bisa membentuk kesepakatan pasar bebas yang hanya berlaku pada barang-barang yang diperdagangkan di dalam grup. Selain itu, WTO juga bisa memberikan akses spesial kepada negara berkembang ke dalam pasar negara lain. atau suatu negara juga bisa memberlakukan “barier” terhadap produk yang dianggap diperdagangkan secara tidak adil dari negara tertentu. Dan untuk sektor jasa, dalam kondisi tertentu negara juga diizinkan untuk melakukan diskriminasi. Walaupun kesepakatan WTO hanya memperbolehkan pengecualian ini dalam kondisi-kondisi tertentu yang sangat strict.
Dan berkaitan dengan national treatment, prinsip ini hanya berlaku jika barang, jasa atau item properti intelektual itu telah memasuki pasar. Selain itu, pembebanan pajak atas produk impor juga bukan bentuk pelanggaran dari prinsip national treatment bahkan bila produk lokal tidak dibebankan pajak. Jadi, negara berkembang tetap bisa melindungi produk dalam negerinya dengan pemberlakuan pajak impor.
Selain itu, prinsip tentang pasar bebas yang dianjurkan oleh WTO juga dilakukan secara bertahan dan juga melalui negosiasi. Jadi tidak serta merta langsung harus diterapkan negara segera setelah negara itu bergabung dengan WTO. Dalam kesepakatannya, WTO membolehkan negara memperkenalkan perubahan perdagangan tersebut secara bertahap melalui “progressive liberalization”. Di mana dalam hal ini negara berkembang biasanya diberikan waktu yang lebih lama untuk memenuhi kewajibannya ini. Namun, negara maju dituntut harus segera memberlakukannya.
Dalam kondisi tertentu, sistem WTO juga memungkinkan tarif, begitupun kebijakan proteksi, WTO juga memberikan izin dalam kondisi tertentu. Hal ini dilakukan WTO untuk membentuk sistem aturan yang terbuka, adil, dan kompetisi yang tidak sehat. Kompetisi terjadi antar negara yang telah siap untuk berkompetisi. Terkait dengan prinsip binding, negara juga diperbolehkan mengubah binding nya, namun hanya setelah bernegosiasi dengan partner dagangnya. Hal ini berarti WTO memungkinkan upaya kompensasi untuk menghindari kerugian pada saat melakukan perdagangan.
Namun, walaupun prinsip WTO ini sudah dibuat dengan penuh pertimbangan dengan melihat kondisi-kondisi negara yang tidak sama, prinsip WTO ini masih memiliki kelemahan yang membuatnya menjadi tidak adil. Misalnya, dalam prinsip most-favoured nation. Dalam prinsip ini, dimungkinkan untuk mengurangi biaya negosiasi, karena negosiasi cukup dilakukan dengan beberapa negara saja. Dan keputusan akan berlaku pada semua negara. Walaupun secara ekonomi, biaya untuk melakukan pertemuan bisa dikurangi. Namun hal yang paling esensi dalam proses pengambilan keputusan adalah melibatkan semua pihak-pihak yang tergabung di dalamnya. Sehingga walaupun pada akhirnya keputusannya tetap sama, setidaknya negara berkembang / negara miskin memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasi atau setidaknya mendapatkan pengecualian atas kebijakan tertentu.
Selain itu, walaupun prinsip-prinsip WTO ini secara tertulis telah mencerminkan kebaikan dan keadilan bagi negara anggotanya. Kenyataan dan realita di lapangan bisa saja berkata lain. Hingga hari ini, negara-negara maju seperti negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa sendiri yang melanggar prinsip-prinsip WTO. Kebanyakan negara Eropa “Keynes at home, Smith abroad”. Uni Eropa melindungi produksi dalam negerinya namun untuk penjualan produknya ke luar negeri mengharapkan pasar bebas seluas-luasnya. Hal inilah yang sangat membebani negara berkembang, di mana mereka dituntut untuk membuka pasar domestiknya untuk produk asing , namun distribusi produk mereka ke luar negeri dibatasi oleh negara maju. Sebuah ironi memang, bahwa ketika negara berkembang dan negara miskin selalu menjadi pihak yang dituntut harus mengikuti semua aturan yang mereka dibuat dengan negara maju, Negara maju malah menjadi pihak yang melanggarnya
POLITIK BISNIS INTERNASIONAL- KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAGING SAPI DAN BATUBARA, SERTA MODEL BENEFIT ANALYSIS DARI KEBIJAKAN TERSEBUT
1. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Daging Sapi
Indonesia merupakan negara pengimpor terbesar sapi hidup Australia. Berdasarkan keterangan pers Meat & Livestocks Australia (MLA), Sepanjang 2008 sebanyak 651.196 ekor atau 75 persen dari total ekspor sapi hidup Australia ke pasar dunia yang tercatat 869.545 ekor. Impor Indonesia sepanjang 2008 itu naik 26 persen dari impornya tahun 2007 yang mencapai 516.992 ekor.Total nilai impor Indonesia itu mencapai 419 juta dolar Australia.
Berdasarkan peraturan yang ditetapkan dalam Cetak Biru Program Swasembada Daging (PSDS) 2014, pemerintah memberlakukan kuota impor terhadap daging-daging yang masuk ke Indonesia. Dan untuk periode tahun 2011, pemerintah menetapkan kuota impor hanya 50.000 ton saja bagi daging-daging yang impor. Menurut wakil mentri Pertanian Bayu Krisnamurthi, selama beberapa tahun terakhir ini permintaan daging jenis oxtail (buntut) meningkat 30%-40%, sementara daging jenis tenderloin meningkat 10%-12%. Sementara, tambahnya, permintaan daging kelas 2 dan kelas 3 yang digunakan untuk bahan baku bakso meningkat 35%. Lebih lanjut dia mengatakan pemerintah juga menduga bahwa sebenarnya dalam negeri tidak membutuhkan kuota daging yang tinggi hingga 90.000 ton atau sampai lebih dari 100.000 ton. “Bisa saja kuota daging sebesar 50.000 ton itu cukup untuk kebutuhan dalam negeri.
Selain itu, pemerintah juga memberlakukan kebijakan pengetatan atas impor daging sapi berupa kewajiban importir untuk menunjukkan Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) di negara pengimpor. Jika importir tidak dapat menunjukkan surat ini, maka komoditas yang akan diangkut tidak dapat dikapalkan. Pemerintah menegaskan akan bekerjasama dengan negara-negara pengimpor seperti Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Amerika untuk melakukan pengetatan impor ini.
Namun, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging (Aspidi) Thomas Sembiring, memprotes kebijakan rem mendadak yang dilakukan pemerintah dalam memutuskan besaran kuota impor daging sapi. Thomas menyebutkan bahwa akan terjadi kekurangan daging dalam negeri karena pembatasan kuota 2011 ini. Selain itu, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan juga memberikan Surat Permohonan Pemasukan (SPP) impor daging secara pilih kasih. SPP diberikan oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan tanpa melihat rekam jejak importir yang sudah lama mengimpor sesuai dengan peraturan.
Keterangan grafik:
Untuk komoditas daging sapi, Indonesia merupakan Negara pengimpor daging terbesar dari Australia. Hal ini dikarenakan permintaan daging sapi yang tinggi di dalam negeri. Namun, pemerintah Indonesia juga memberlakukan kuota impor dalam rangka mewujudkan program swasembada daging Indonesia. Pemberlakuan kuota impor ini menyebabkan harga daging dalam negeri naik dari harga dunia. Naiknya harga daging dalam negeri tentu akan menyebabkan permintaan terhadap daging impor menjadi berkurang. Seperti perubahan kurva permintaan dari D menjadi D1.
Sedangkan di pasar Australia, akibat pemberlakuan kuota impor dari Indonesia. Ekspor sapi dari Australia menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan produksi daging sapi di Australia melimpah, namun permintaan dalam negerinya tetap. Karenanya, harga daging sapi di dalam negeri Australia mengalami penurunan, akibat produksi dalam negeri yang melimpah.
2. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Batu Bara
Sejak tahun 2009 lalu, pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan pembatasan ekspor batu bara dengan kuota maksimal 150 juta ton per tahun mulai 2009 hingga 2025 dengan tujuan pengamanan kebutuhan dalam negeri. Kebijakan itu sudah tertuang Indonesian Coal Policy 2004. Ekspor tetap bisa dilakukan tapi hanya maksimal 150 juta ton per tahun. kebijakan ekspor batubara 150 juta ton per tahun berlaku dinamis. Artinya, jika permintaan dalam negeri tidak sesuai yang diperkirakan maka pembatasan ekspor diperlonggar.
Selain itu kebutuhan domestik terhadap batubara pun mulai meningkat. Sehingga kebijakan pemerintah memprioritaskan batubara untuk kebutuhan domestic. Hal ini terkait juga dengan selesainya proyek percepatan 10.000 MW tahap II, kebutuhan batubara untuk pembangkit akan mengalami peningkatan sebesar 65-70 juta ton per tahun. Pembatasan ekspor akan dilakukan setelah selesainya peraturan pemerintah sebagai amanat UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain itu permintaan pasokan batu bara juga akan digunakan untuk proyek PLTU 10.000 MW PLN dan 10.000 MW IPP (Independent Power Producer) pada 2010 lalu . Kebutuhan batu bara PLN diperkirakan mencapai 75 juta ton.
Selain itu, pemerintah juga berencana untuk melakukan pembatasan ekspor batu bara berkalori rendah. Kebijakan ini diharapkan agar produsen batubara akan lebih diuntungkan, karena batu bara yang akan diekspor adalah batu bara yang yang nilai ekonominya lebih tinggi.
Keterangan:
Untuk komoditas batubara, Indonesia memberlakukan pembatasan ekspor (Voluntary Expor Restraints). Pemberlakuan ini mengingat kebutuhan batu bara dalam negeri yang tinggi. Kekurangan di dalam negeri ini menyebabkan harga komoditas batubara di dalam negeri menjadi naik.
Dan bagi Jepang, ketika Indonesia memberlakukan pembatasan ekspor, maka harga dalam negeri akan meningkat. Karena penawaran dari Negara pengekspor dibatasi (di dalam kurva tetap). Peningkatan permintaan ini digambarkan dari pergeseran kurva D ke D1.
Indonesia merupakan negara pengimpor terbesar sapi hidup Australia. Berdasarkan keterangan pers Meat & Livestocks Australia (MLA), Sepanjang 2008 sebanyak 651.196 ekor atau 75 persen dari total ekspor sapi hidup Australia ke pasar dunia yang tercatat 869.545 ekor. Impor Indonesia sepanjang 2008 itu naik 26 persen dari impornya tahun 2007 yang mencapai 516.992 ekor.Total nilai impor Indonesia itu mencapai 419 juta dolar Australia.
Berdasarkan peraturan yang ditetapkan dalam Cetak Biru Program Swasembada Daging (PSDS) 2014, pemerintah memberlakukan kuota impor terhadap daging-daging yang masuk ke Indonesia. Dan untuk periode tahun 2011, pemerintah menetapkan kuota impor hanya 50.000 ton saja bagi daging-daging yang impor. Menurut wakil mentri Pertanian Bayu Krisnamurthi, selama beberapa tahun terakhir ini permintaan daging jenis oxtail (buntut) meningkat 30%-40%, sementara daging jenis tenderloin meningkat 10%-12%. Sementara, tambahnya, permintaan daging kelas 2 dan kelas 3 yang digunakan untuk bahan baku bakso meningkat 35%. Lebih lanjut dia mengatakan pemerintah juga menduga bahwa sebenarnya dalam negeri tidak membutuhkan kuota daging yang tinggi hingga 90.000 ton atau sampai lebih dari 100.000 ton. “Bisa saja kuota daging sebesar 50.000 ton itu cukup untuk kebutuhan dalam negeri.
Selain itu, pemerintah juga memberlakukan kebijakan pengetatan atas impor daging sapi berupa kewajiban importir untuk menunjukkan Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) di negara pengimpor. Jika importir tidak dapat menunjukkan surat ini, maka komoditas yang akan diangkut tidak dapat dikapalkan. Pemerintah menegaskan akan bekerjasama dengan negara-negara pengimpor seperti Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Amerika untuk melakukan pengetatan impor ini.
Namun, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging (Aspidi) Thomas Sembiring, memprotes kebijakan rem mendadak yang dilakukan pemerintah dalam memutuskan besaran kuota impor daging sapi. Thomas menyebutkan bahwa akan terjadi kekurangan daging dalam negeri karena pembatasan kuota 2011 ini. Selain itu, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan juga memberikan Surat Permohonan Pemasukan (SPP) impor daging secara pilih kasih. SPP diberikan oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan tanpa melihat rekam jejak importir yang sudah lama mengimpor sesuai dengan peraturan.
Keterangan grafik:
Untuk komoditas daging sapi, Indonesia merupakan Negara pengimpor daging terbesar dari Australia. Hal ini dikarenakan permintaan daging sapi yang tinggi di dalam negeri. Namun, pemerintah Indonesia juga memberlakukan kuota impor dalam rangka mewujudkan program swasembada daging Indonesia. Pemberlakuan kuota impor ini menyebabkan harga daging dalam negeri naik dari harga dunia. Naiknya harga daging dalam negeri tentu akan menyebabkan permintaan terhadap daging impor menjadi berkurang. Seperti perubahan kurva permintaan dari D menjadi D1.
Sedangkan di pasar Australia, akibat pemberlakuan kuota impor dari Indonesia. Ekspor sapi dari Australia menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan produksi daging sapi di Australia melimpah, namun permintaan dalam negerinya tetap. Karenanya, harga daging sapi di dalam negeri Australia mengalami penurunan, akibat produksi dalam negeri yang melimpah.
2. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Batu Bara
Sejak tahun 2009 lalu, pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan pembatasan ekspor batu bara dengan kuota maksimal 150 juta ton per tahun mulai 2009 hingga 2025 dengan tujuan pengamanan kebutuhan dalam negeri. Kebijakan itu sudah tertuang Indonesian Coal Policy 2004. Ekspor tetap bisa dilakukan tapi hanya maksimal 150 juta ton per tahun. kebijakan ekspor batubara 150 juta ton per tahun berlaku dinamis. Artinya, jika permintaan dalam negeri tidak sesuai yang diperkirakan maka pembatasan ekspor diperlonggar.
Selain itu kebutuhan domestik terhadap batubara pun mulai meningkat. Sehingga kebijakan pemerintah memprioritaskan batubara untuk kebutuhan domestic. Hal ini terkait juga dengan selesainya proyek percepatan 10.000 MW tahap II, kebutuhan batubara untuk pembangkit akan mengalami peningkatan sebesar 65-70 juta ton per tahun. Pembatasan ekspor akan dilakukan setelah selesainya peraturan pemerintah sebagai amanat UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain itu permintaan pasokan batu bara juga akan digunakan untuk proyek PLTU 10.000 MW PLN dan 10.000 MW IPP (Independent Power Producer) pada 2010 lalu . Kebutuhan batu bara PLN diperkirakan mencapai 75 juta ton.
Selain itu, pemerintah juga berencana untuk melakukan pembatasan ekspor batu bara berkalori rendah. Kebijakan ini diharapkan agar produsen batubara akan lebih diuntungkan, karena batu bara yang akan diekspor adalah batu bara yang yang nilai ekonominya lebih tinggi.
Keterangan:
Untuk komoditas batubara, Indonesia memberlakukan pembatasan ekspor (Voluntary Expor Restraints). Pemberlakuan ini mengingat kebutuhan batu bara dalam negeri yang tinggi. Kekurangan di dalam negeri ini menyebabkan harga komoditas batubara di dalam negeri menjadi naik.
Dan bagi Jepang, ketika Indonesia memberlakukan pembatasan ekspor, maka harga dalam negeri akan meningkat. Karena penawaran dari Negara pengekspor dibatasi (di dalam kurva tetap). Peningkatan permintaan ini digambarkan dari pergeseran kurva D ke D1.
POLITIK BISNIS INTERNASIONAL - KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP BERAS DAN BAJA, SERTA MODEL BENEFIT ANALYSIS DARI KEBIJAKAN TERSEBUT
1. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Beras
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada 4 Januari 2011 lalu menegaskan bahwa Indonesia akan menghilangkan tarif impor beras dan tetap menjalankan semua kebijakan pemerintah yang terkait dengan perberasan meskipun terdapat desakan terhadap pemerintah untuk menaikkan tarif bea masuk impor beras.
Salah satu kebijakannya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 241/PMK.011/2010 tanggal 22 Desember 2010 tentang tarif bea masuk 57 komoditas pangan termasuk Beras. Dalam aturan itu, tarif bea masuk diturunkan dari Rp 450 per kg menjadi nol persen untuk berbagai jenis beras impor. Dan menurut pemerintah, kebijakan ini akan terus dijalankan oleh pemerintah dengan alasan bahwa pemerintah harus menjamin dan memastikan bahwa pasokan beras untuk rakyat tetap mencukupi dan juga menghindari gejolak harga beras di masyarakat. Dan kebijakan ini akan berakhir pada bulan maret ini.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo dengan Komisi XI DPR juga mengadakan rapat kerja pada 2 Februari lalu. Komisi XI juga mendesak Menteri Keuangan untuk mencabut PMK No. 241 tahun 2010 dengan pertimbangan bahwa beberapa daerah di Indonesia akan memproduksi padi lebih banyak karena panen raya.
Adapun PMK No. 241 ini menetapkan tarif bea masuk beras ditetapkan nol persen dan baru akan dinaikkan menjadi Rp 450 per kilogram pada 1 April 2011. PMK ini dinilai anggota Komisi XI DPR sebagai penyebab turunnya harga gabah di tingkat petani dari Rp 3.400 per kilogram menjadi Rp 2.600 per kilogram.
Pemerintah juga mengakui bahwa harga beras secara nasional sudah mulai menurun 2,2% namun pemerintah membantah bahwa panen secara nasional belum terjadi sehingga stok nasional dianggap masih belum mencukupi. Namun, BULOG sudah diperintahkan membeli gabah petani. Jika harga gabah di atas harga pembelian pemerintah, Bulog diberi fleksibilitas untuk tetap membelinya. Selisih antara harga pembelian pemerintah dan harga gabah yang dibeli Bulog akan dibayar pemerintah menggunakan dana cadangan risiko fiskal khusus untuk pengamanan stok beras senilai Rp 1 triliun dalam APBN 2011.
Selain itu, pemerintah juga menambahkan bahwa beras yang diimpor pemerintah adalah beras raskin. Yang semuanya akan dimasukkan ke Bulog dan akan digunakan untuk mengamankan cadangan raskin. Untuk itulah, impor dari luar negeri harus tetap dilakukan.
Berbeda dengan pemerintah, sebagian kalangan termasuk BPS, Komisi XI DPR dan partai oposisi PDI-P menyebutkan bahwa produksi padi pada tahun ini surplus. Disebutkan bahwa Tahun 2011, produksi gabah kering giling akan mencapai 68,8 juta ton atau setara 39,9 juta ton beras, sedangkan kebutuhan beras hanya 33,06 juta ton. Sehingga muncul keberatan terhadap kebijakan pemerintah yang mendorong impor beras dengan menurunkan tarif masuk beras impor dari dari Rp 450 kilogram menjadi nol persen. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengungkapkan bahwa jika diasumsikan konsumsi beras per kapita mencapai 139,15 kg. Dengan jumlah penduduk 237,556 juta jiwa, kebutuhan beras nasional hanya 33,06 juta ton. Ini artinya, pemerintah sebenarnya telah merencanakan surplus beras. Selain itu, dalam Nota Keuangan dan APBN 2011 yang didasari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011 disebutkan, produksi tahun 2011 adalah 68,8 juta ton GKG atau setara 39,9 juta ton.Jadi, dari data resmi pemerintah sendiri dapat diketahui, pada tahun 2010 ada surplus beras sebanyak 5,61 juta ton dan pada tahun 2011 ada surplus 6,84 juta ton beras.
Lalu sebenarnya atas dasar apa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 241/PMK.011/2010 tanggal 22 Desember 2010 tentang tarif bea masuk 57 komoditas pangan itu dikeluarkan? Banyak kalangan menilai kebijakan pemerintah yang meringan bea impor ini merupakan sebuah anomaly dan mestinya menjadi perhatian serius dari pemerintah karena hal ini dapat merugikan 59 juta petani (data jumlah petani tahun 2010 berdasarkan BPS) disaat menjelang panen raya di sejumlah daerah akan terjadi.
Menjadi sebuah ironi bahwa Indonesia yang dikenal sebagai Negara agraris dan kabarnya merupakan Negara yang mudah ditanami apapun, kini telah menjelma menjadi Negara pengimpor beras terbesar keempat di dunia setelah Nigeria, Filipina, dan Arab Saudi. Semua ini karena permintaan domestic yang tidak mampu dipenuhi oleh hasil produksi beras nasional. Dan kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras dari luar negeri justru akan mematikan petani kecuali pemerintah mampu menjamin untuk membeli semua padi petani.
Keterangan grafik:
a. Kondisi awal perdagangan beras di dalam negeri Indonesia menunjukkan bahwa harga beras Indonesia sangat tinggi, jauh di atas harga beras dunia. Ditunjukkan dengan titik ekuilibrium awal di home market (E)
b. Indonesia memutuskan untuk melakukan impor dengan Vietnam sebagai produsen beras yang dianggap paling efisien. Dalam artian memiliki harga domestic yang jauh lebih rendah daripada Indonesia.
c. Keputusan Indonesia untuk mengimpor beras dari Vietnam juga dibarengi dengan penetapan tariff bagi beras impor Vietnam dengan tujuan agar harga beras Indonesia bisa sedikit lebih turun namun juga untuk menghindari agar harga beras di pasar domestic tidak “terjun bebas”. Perubahan ini ditunjukkan dengan perubahan ekuilibrium awal (E) menjadi E1.
d. Dan disisi Vietnam, proses ekspor yang dilakukan ke Indonesia membuat harga domestic beras di Vietnam meningkat. Namun masih dalam “range” di bawah harga dunia. Peningkatan ini juga ditunjukkan dengan pergeseran titik ekuilibrium awal E ke E1 dan peningkatan harga.
2. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Baja
Berdasarkan Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.011/2011 yang menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia akan memberlakukan bea masuk anti dumping (BMAD) atas impor baja jenis hot rolled coil (baja canai panas/HRC) dari Republik Korea dan Malaysia. Peraturan tersebut berlaku sejak 7 Februari 2011 dan akan berlaku selama lima tahun.
Pemberlakuan BMAD ini dilakukan terkait hasil pernyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) bahwa terdapat bukti bahwa impor Hot Rolled Coil secara dumping dari kedua negara itu yang menyebabkan kerugian (injury) terhadap industri dalam negeri dan hubungan kausal antara dumping dengan kerugian yang dialami industri dalam negeri.
BMAD ini akan dikenakan pada produk impor HRC Korea dan Malaysia. Diantaranya :
a. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan pola reliefpos sebagaimana dimaksud pada tarif 7208.10.00.00.
b. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 4,75 mm atau lebih, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.25.10.00.
c. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 4,75 mm atau lebih, tidak untuk dicanai ulang, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.25.90.00.
d. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 3 mm atau lebih, tetapi kurang dari 4,75 mm sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.26.00.00.
e. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan kurang dari 3 mm, sebagaimana dimaksud pos tarif 7208.27.00.00.
f. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan melebihi 10 mm, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.36.00.00.
g. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 4,75 mm atau lebih tetapi tidak melebihi 10 mm, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.37.00.00.
h. Selain itu, produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 3 mm atau lebih tetapi kurang dari 4,75 mm, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.38.00.00.
i. Juga produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan kurang dari 3 mm, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.39.00.00.
j. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dicanai panas, tidak dipalut, tidak disepuh atau tidak dilapisi, dalam gulungan sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.90.00.00.
Semua perusahaan dari Korea Selatan kecuali Hyundai Steel Company,POSCO, Dongkuk Industries Co, dan Hyundai HYSCO akan dikenai bea masuk anti dumping dengan besar tarif 3,8 %. Dan untuk perusahaan Malaysia adalah perusahaan Megasteel Sdn Bhd, dan perusahaan lainnya dengan besar tarif BMAD 48,4 persen. Pengenaan BMAD itu merupakan tambahan bea masuk yang dipungut berdasarkan skema tarif Bea Masuk Preferensi untuk eksportir dan/atau produsen pada perusahaan yang berasal dari negara-negara yang memiliki kerjasama perdagangan dengan Indonesia.
Dalam hal skema tarif Bea Masuk Preferensi itu tidak terpenuhi, BMAD itu merupakan tambahan bea masuk yang dipungut berdasarkan Bea Masuk Umum/Most Favoured Nation.
Meskipun pemerintah menganggap bahwa tujuan pengenaan BMAD ini untuk melindungi industry dalam negeri, namun menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan NO.23/PMK.011/2011 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping terhadap Impor Hot Rolled Coil (HRC) dari Republik Korea dan Malaysia,akan menggangu dan menghambat kinerja industry hilir baja. Menurut KADIN, jika BMAD diberlakukan, produk-produk baja yang masih belum bisa dibuat di dalam negeri juga akan terkena sehingga akan mengalami penambahan biaya.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada 4 Januari 2011 lalu menegaskan bahwa Indonesia akan menghilangkan tarif impor beras dan tetap menjalankan semua kebijakan pemerintah yang terkait dengan perberasan meskipun terdapat desakan terhadap pemerintah untuk menaikkan tarif bea masuk impor beras.
Salah satu kebijakannya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 241/PMK.011/2010 tanggal 22 Desember 2010 tentang tarif bea masuk 57 komoditas pangan termasuk Beras. Dalam aturan itu, tarif bea masuk diturunkan dari Rp 450 per kg menjadi nol persen untuk berbagai jenis beras impor. Dan menurut pemerintah, kebijakan ini akan terus dijalankan oleh pemerintah dengan alasan bahwa pemerintah harus menjamin dan memastikan bahwa pasokan beras untuk rakyat tetap mencukupi dan juga menghindari gejolak harga beras di masyarakat. Dan kebijakan ini akan berakhir pada bulan maret ini.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo dengan Komisi XI DPR juga mengadakan rapat kerja pada 2 Februari lalu. Komisi XI juga mendesak Menteri Keuangan untuk mencabut PMK No. 241 tahun 2010 dengan pertimbangan bahwa beberapa daerah di Indonesia akan memproduksi padi lebih banyak karena panen raya.
Adapun PMK No. 241 ini menetapkan tarif bea masuk beras ditetapkan nol persen dan baru akan dinaikkan menjadi Rp 450 per kilogram pada 1 April 2011. PMK ini dinilai anggota Komisi XI DPR sebagai penyebab turunnya harga gabah di tingkat petani dari Rp 3.400 per kilogram menjadi Rp 2.600 per kilogram.
Pemerintah juga mengakui bahwa harga beras secara nasional sudah mulai menurun 2,2% namun pemerintah membantah bahwa panen secara nasional belum terjadi sehingga stok nasional dianggap masih belum mencukupi. Namun, BULOG sudah diperintahkan membeli gabah petani. Jika harga gabah di atas harga pembelian pemerintah, Bulog diberi fleksibilitas untuk tetap membelinya. Selisih antara harga pembelian pemerintah dan harga gabah yang dibeli Bulog akan dibayar pemerintah menggunakan dana cadangan risiko fiskal khusus untuk pengamanan stok beras senilai Rp 1 triliun dalam APBN 2011.
Selain itu, pemerintah juga menambahkan bahwa beras yang diimpor pemerintah adalah beras raskin. Yang semuanya akan dimasukkan ke Bulog dan akan digunakan untuk mengamankan cadangan raskin. Untuk itulah, impor dari luar negeri harus tetap dilakukan.
Berbeda dengan pemerintah, sebagian kalangan termasuk BPS, Komisi XI DPR dan partai oposisi PDI-P menyebutkan bahwa produksi padi pada tahun ini surplus. Disebutkan bahwa Tahun 2011, produksi gabah kering giling akan mencapai 68,8 juta ton atau setara 39,9 juta ton beras, sedangkan kebutuhan beras hanya 33,06 juta ton. Sehingga muncul keberatan terhadap kebijakan pemerintah yang mendorong impor beras dengan menurunkan tarif masuk beras impor dari dari Rp 450 kilogram menjadi nol persen. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengungkapkan bahwa jika diasumsikan konsumsi beras per kapita mencapai 139,15 kg. Dengan jumlah penduduk 237,556 juta jiwa, kebutuhan beras nasional hanya 33,06 juta ton. Ini artinya, pemerintah sebenarnya telah merencanakan surplus beras. Selain itu, dalam Nota Keuangan dan APBN 2011 yang didasari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011 disebutkan, produksi tahun 2011 adalah 68,8 juta ton GKG atau setara 39,9 juta ton.Jadi, dari data resmi pemerintah sendiri dapat diketahui, pada tahun 2010 ada surplus beras sebanyak 5,61 juta ton dan pada tahun 2011 ada surplus 6,84 juta ton beras.
Lalu sebenarnya atas dasar apa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 241/PMK.011/2010 tanggal 22 Desember 2010 tentang tarif bea masuk 57 komoditas pangan itu dikeluarkan? Banyak kalangan menilai kebijakan pemerintah yang meringan bea impor ini merupakan sebuah anomaly dan mestinya menjadi perhatian serius dari pemerintah karena hal ini dapat merugikan 59 juta petani (data jumlah petani tahun 2010 berdasarkan BPS) disaat menjelang panen raya di sejumlah daerah akan terjadi.
Menjadi sebuah ironi bahwa Indonesia yang dikenal sebagai Negara agraris dan kabarnya merupakan Negara yang mudah ditanami apapun, kini telah menjelma menjadi Negara pengimpor beras terbesar keempat di dunia setelah Nigeria, Filipina, dan Arab Saudi. Semua ini karena permintaan domestic yang tidak mampu dipenuhi oleh hasil produksi beras nasional. Dan kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras dari luar negeri justru akan mematikan petani kecuali pemerintah mampu menjamin untuk membeli semua padi petani.
Keterangan grafik:
a. Kondisi awal perdagangan beras di dalam negeri Indonesia menunjukkan bahwa harga beras Indonesia sangat tinggi, jauh di atas harga beras dunia. Ditunjukkan dengan titik ekuilibrium awal di home market (E)
b. Indonesia memutuskan untuk melakukan impor dengan Vietnam sebagai produsen beras yang dianggap paling efisien. Dalam artian memiliki harga domestic yang jauh lebih rendah daripada Indonesia.
c. Keputusan Indonesia untuk mengimpor beras dari Vietnam juga dibarengi dengan penetapan tariff bagi beras impor Vietnam dengan tujuan agar harga beras Indonesia bisa sedikit lebih turun namun juga untuk menghindari agar harga beras di pasar domestic tidak “terjun bebas”. Perubahan ini ditunjukkan dengan perubahan ekuilibrium awal (E) menjadi E1.
d. Dan disisi Vietnam, proses ekspor yang dilakukan ke Indonesia membuat harga domestic beras di Vietnam meningkat. Namun masih dalam “range” di bawah harga dunia. Peningkatan ini juga ditunjukkan dengan pergeseran titik ekuilibrium awal E ke E1 dan peningkatan harga.
2. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Baja
Berdasarkan Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.011/2011 yang menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia akan memberlakukan bea masuk anti dumping (BMAD) atas impor baja jenis hot rolled coil (baja canai panas/HRC) dari Republik Korea dan Malaysia. Peraturan tersebut berlaku sejak 7 Februari 2011 dan akan berlaku selama lima tahun.
Pemberlakuan BMAD ini dilakukan terkait hasil pernyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) bahwa terdapat bukti bahwa impor Hot Rolled Coil secara dumping dari kedua negara itu yang menyebabkan kerugian (injury) terhadap industri dalam negeri dan hubungan kausal antara dumping dengan kerugian yang dialami industri dalam negeri.
BMAD ini akan dikenakan pada produk impor HRC Korea dan Malaysia. Diantaranya :
a. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan pola reliefpos sebagaimana dimaksud pada tarif 7208.10.00.00.
b. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 4,75 mm atau lebih, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.25.10.00.
c. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 4,75 mm atau lebih, tidak untuk dicanai ulang, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.25.90.00.
d. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 3 mm atau lebih, tetapi kurang dari 4,75 mm sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.26.00.00.
e. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan kurang dari 3 mm, sebagaimana dimaksud pos tarif 7208.27.00.00.
f. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan melebihi 10 mm, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.36.00.00.
g. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 4,75 mm atau lebih tetapi tidak melebihi 10 mm, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.37.00.00.
h. Selain itu, produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 3 mm atau lebih tetapi kurang dari 4,75 mm, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.38.00.00.
i. Juga produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan kurang dari 3 mm, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.39.00.00.
j. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dicanai panas, tidak dipalut, tidak disepuh atau tidak dilapisi, dalam gulungan sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.90.00.00.
Semua perusahaan dari Korea Selatan kecuali Hyundai Steel Company,POSCO, Dongkuk Industries Co, dan Hyundai HYSCO akan dikenai bea masuk anti dumping dengan besar tarif 3,8 %. Dan untuk perusahaan Malaysia adalah perusahaan Megasteel Sdn Bhd, dan perusahaan lainnya dengan besar tarif BMAD 48,4 persen. Pengenaan BMAD itu merupakan tambahan bea masuk yang dipungut berdasarkan skema tarif Bea Masuk Preferensi untuk eksportir dan/atau produsen pada perusahaan yang berasal dari negara-negara yang memiliki kerjasama perdagangan dengan Indonesia.
Dalam hal skema tarif Bea Masuk Preferensi itu tidak terpenuhi, BMAD itu merupakan tambahan bea masuk yang dipungut berdasarkan Bea Masuk Umum/Most Favoured Nation.
Meskipun pemerintah menganggap bahwa tujuan pengenaan BMAD ini untuk melindungi industry dalam negeri, namun menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan NO.23/PMK.011/2011 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping terhadap Impor Hot Rolled Coil (HRC) dari Republik Korea dan Malaysia,akan menggangu dan menghambat kinerja industry hilir baja. Menurut KADIN, jika BMAD diberlakukan, produk-produk baja yang masih belum bisa dibuat di dalam negeri juga akan terkena sehingga akan mengalami penambahan biaya.
POLITIK BISNIS INTERNASIONAL - KERANGKA STRATEGIS YANG HARUS DISIAPKAN INDONESIA DALAM MENDORONG LAHIRNYA KEUNGGULAN PERDAGANGAN EKONOMI ASEAN (ACFTA)
Sejak Indonesia menandatangani perjanjian perdagangan bebas ASEAN dan China pada awal Januari 2010 lalu, menjadi keharusan bahwa Indonesia harus siap dengan segala konsekuensi yang akan datang setelah perjanjian ini diberlakukan. Meski sekarang Indonesia dinilai sebagian kalangan masih kurang berperan besar dalam kerangka perdagangan ACFTA, Indonesia mesti mempersiapkan berbagai strategi untuk dampak memaksimalkan ACFTA untuk kepentingan Negara. Hal ini penting supaya Indonesia tidak hanya menjadi “perahan” negara lain dan bisa menjadi actor ekonomi yang diperhitungkan dalam level Asia Tenggara. Mengingat kondisi dan perkembangan perdagangan internasional yang sangat kompetitif akhir-akhir ini, Indonesia pun dituntut untuk mampu bersaing dengan Negara lain.
Fenomena perkembangan perdagangan yang semakin kompetitif terjadi di dunia saat ini memang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teori perdagangan, terutama teori perdagangan klasik yang telah memberikan dasar bagi perkembangan teori-teori modern. Perkembangan ini dibuktikan dengan aplikasi system spesialisasi produksi dan pertimbangan untuk mengekspor barang yang relatif unggul di dalam negeri yang mulai diterapkan banyak Negara di dunia, termasuk Indonesia. meskipun masih mengandung banyak kekurangan dan kritik, namun teori klasik ini lah yang menyebabkan munculnya teori-teori modern yang hadir untuk melengkapi keterbatasan teori-teori klasik.
Dan untuk membahas mengenai stategi yang mesti disiapkan Indonesia dalam kerangka ACFTA sebenarnya sejalan dengan teori perdagangan H-O yang dikemukakan oleh Hecskher dan Ohlin, bahwa faktor produksi adalah hal yang mesti diperhatian pertama kali oleh Indonesia. Dalam artian, untuk ACFTA, pada level perdagangan Asia Tenggara, Indonesia harus bisa mengenali apa-apa saja keunggulannya, dan berdasarkan teori H-O, keunggulan dihasilkan dari faktor produksi apa yang relatif lebih murah dan banyak kuantitasnya di Indonesia. Jadi penting bagi Indonesia untuk mengenali diri sendiri dan mencari komoditas keunggulannya .
Sebagai Negara berkembang dengan jumlah populasi yang besar, tidak dipungkiri lagi bahwa secara kuantitas Indonesia memiliki factor produksi tenaga kerja yang cukup besar dan relatif murah. Hal ini menjadi sinyal bahwa Indonesia sangat potensial untuk kegiatan produksi padat karya. Maka industri yang lebih berorientasi pada tenaga kerja adalah pilihan yang sangat baik untuk mengkaji strategi perdagangan Indonesia. Selain kaya dengan jumlah penduduk, Indonesia juga dikenal sebagai Negara agraris yang kaya dengan hasil-hasil pertanian. Berbeda dengan negara maju, Indonesia seperti memang lebih unggul untuk produksi produk-produk pertanian dan produk-produk perkebunan.
Namun demikian, walaupun sektor pertanian dan perkebunan merupakan sektor yang mampu menjadi tulang punggung perekonomian bangsa. Saat ini Indonesia masih berkutat untuk ekspor produk asli pertanian dan perkebunan, bukan berorientasi pada produk turunan yang sebenarnya memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Pelaku usaha di Indonesia masih dalam tahap memproses produk dasar saja baik itu karet, kopi dan minyak kelapa sawit. Ini akan menjadi penghambat daya saing Indonesia dalam kerangka perdagangan ACFTA, terutama bila Indonesia ingin bersaing dengan negara-negara ASEAN plus China yang telah mampu berproduksi dalam ragam produk dengan banyak deferensiasi ditambah penggunaan teknologi maju.
Selain itu, dalam kerangka perdagangan ACFTA, Indonesia harus berhadapan dengan China dengan kompetensi dagang yang tidak perlu diragukan lagi. Sehingga Indonesia juga harus membangun strategi dan persiapan khusus untuk negara yang satu ini. Secara agregat, dari data trade balance atau neraca perdagangan Indonesia dan China pada tahun 2008 lalu, seperti yang diungkapkan diatas, Indonesia meraih surplus US$2,2 miliar (nilai ekspor US$2,89 miliar dikurangi impor US$689,1 juta) dari US$800 juta pada empat tahun lalu untuk produk pertanian terutama perkebunan. Namun ironinya, Indonesia malah melakukan impor yang cukup besar untuk produk holtikultura (apel, pir dan bawang putih) sebesar US$434,4 juta dan juga dari sector subsector pangan (benih gandum, gula kasar) sebesar US$109,53 juta. Ini berarti daya saing Indonesia memang terletak di sector perkebunan namun Indonesia mengalami tekanan di sector holtikultura dan subsector pangan. [1]
Dan untuk membahas kerangka stategis yang mesti dipersiapkan Indonesia dalam kerangka perdagangan ACFTA, saya menggunakan teori perdagangan yang dikemukakan MICHAEL PORTER yaitu model perdagangan DIAMOND PORTER.
Model Diamond Porter merupakan model perdagangan internasional yang menawarkan konsep keunggulan kompetitif (competitive advantage). Berbeda dengan keunggulan komparatif (comparative advantage) yang menyatakan bahwa suatu negara tidak perlu menghasilkan suatu produk apabila produk tersebut telah dapat dihasilkan oleh negara lain dengan lebih baik, unggul, dan efisien secara alami, konsep keunggulan kompetitif adalah sebuah konsep yang menyatakan bahwa kondisi alami tidaklah perlu untuk dijadikan penghambat karena keunggulan pada dasarnya dapat diperjuangkan dan ditandingkan (dikompetisikan) dengan berbagai perjuangan/usaha. Dan keunggulan suatu negara bergantung pada kemampuan perusahaan-perusahaan di dalam negara tersebut untuk berkompetisi dalam menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar
Selain itu, dalam teori Diamond Porter, terdapat empat determinan yang membentuk model seperti berlian. Hubungan antar empat determinan ini saling menguatkan satu sama lain. Adapun 4 determinan itu adalah:
a. Factor produksi.
Seperti yang dijelaskan pada bagian pertama diatas, Indonesia memiliki cukup factor produksi yang terbentuk secara alami, yang di dalam model diamond porter dikenal dengan factor produksi biasa seperti sumber daya alam, tanah dan juga tenaga kerja yang belum terlatih. Jumlah factor produksi seperti ini bisa dibilang cukup banyak di Indonesia. Selain itu, terdapat factor produksi lain yang disebut dengan factor produksi terspesialisasi. Contohnya seperti tenaga kerja terlatih dan teknologi. Dan untuk factor produksi ini, Indonesia masih belum bisa dikatakan baik.
b. Kondisi permintaan.
Untuk menggambarkan kondisi permintaan ini, dapat digunakan analogi kusir, cambuk dan kuda. Konsumen diibaratkan seperti kusir yang sedang menikmati tenaga kuda. Dan produsen diibaratkan seperti kuda. Cambuk adalah perumpamaan untuk kondisi permintaan dari konsumen. Asumsikan bahwa kuda dikatakan semakin kompetitif apabila kuda tersebut dapat menghasilkan tenaga kuda yang semakin besar. Apabila kusir menghendaki tenaga kuda yang lebih besar agar kuda dapat berlari lebih cepat, maka sang kusir tinggal menggunakan cambuknya untuk memaksa sang kuda agar menghasilkan tenaga yang lebih besar.
c. Industri yang berkaitan dan mendukung
Kompetitivitas dapat meningkat apabila industri-industri yang berkaitan dan mendukung memusatkan diri mereka dalam satu kawasan. Banyak biaya-biaya yang bisa ditekan apabila industri-industri yang saling berkaitan berada di satu kawasan.
d. Persaingan perusahaan
Strategi dan struktur yang diterapkan perusahaan akan menentukan kompetitivitasnya. Hal ini lebih menyangkut kepada konteks waktu dan budaya dimana perusahaan itu berada. Tidak semua perusahaan cocok menggunakan strategi dan struktur tertentu. Perusahaan dituntut agar dapat menerapkan strategi dan struktur yang paling tepat dengan keadaan yang dialami agar dapat survive terhadap kondisi sekitarnya
Selain keempat determinan tersebut, terdapat dua unsur lainnya yang penting dalam model Diamond Porter, yaitu kesempatan dan pemerintah. Pemerintah dapat mempengaruhi keempat determinan diatas dengan kebijakan-kebijakan yang ia buat. Jadi di dalam model ini, pemerintah memiliki peran yang sangat strategis.
Teori ini saya pandang mampu memberikan pemahaman yang mampu membawa kita bisa membangun kerangka strategis untuk menghadapi dan mendorong ekonomi ACFTA. Dengan keunggulan yang Indonesia miliki, perolehan devisa dari ekspor berbagai produk pertanian Indonesia akan semakin signifikan, terutama produk-produk pertanian yang dibudidayakan sendiri di dalam negeri. Selain itu, orientasi para pelaku usaha Indonesia juga harus diubah, untuk menghasilkan tidak hanya produk dasar, namun juga berupaya mengembangkan produk turunannya. Dalam rangka meningkatkan nilai ekonomi produk. Dengan kata lain, Indonesia harus fokus untuk mengembangkan sektor pertanian sesuai keunggulan komparatif dan kompetitif. Untuk itulah, berbagai aneka komoditas unggulan baik hulu maupun hilir harus terus dikembangkan. Dan di sinilah peran strategis pemerintah yang dibicarakan dalam model Diamond tadi, pemerintah harus mendorong industri terutama industri kecil dan industri hilir agar terus berkembang dengan menyediakan kebijakan-kebijakan yang sejalan untuk mewujudkan hal tersebut serta meningkatkan daya saing produk dalam negeri baik dengan melakukan sosialisasi maupun pelatihan terhadap pelaku-pelaku usaha.
Dan menanggapi persaingan dengan China, Indonesia harus memahami berbagai keunggulan China. Dari sisi teknis saja, China telah unggul di 12 faktor kompetisi bisnis (GCI Cina di 29, Indonesia di 54). Kecuali faktor efisiensi pasar barang dan jasa, Cina menang telak di faktor sistem birokrasi yang cepat-tepat, infrastruktur, stabilitas ekonomi, inovasi bisnis, efisiensi tenaga kerja dan ukuran pasar (sehingga mampu mencapai economies of scale).
Dan dibidang pertanian, meskipun terdapat surplus dan Indonesia bisa melakukan ekspor,namun infrastruktur untuk peningkatan pertanian Indonesia sangat rentan. Saat ini pun untuk komoditas beras, daya saing beras China jauh lebih tinggi karena irigasi dan prduktivitasnya yang tinggi. Dan jika seandainya daya saing komoditas beras Indonesia akan benar-benar hilang. Kembali, peran negara sangat dibutuhkan agar industri di dalam negeri mampu bersaing. Asistensi pemerintah dapat diberikan berupa aneka subsidi (pupuk, benih dan bibit unggul), insentif harga, peningkatan produktivitas, dukungan infrastruktur (jalan, irigasi, pelabuhan, riset), bantuan pengolahan dan pasca panen harus dilakukan secara simultan.
Jadi, memang butuh peran ekstra keras dari segenap elemen perekonomian domestic dan peran aktif pemerintah untuk mampu membawa industry dalam negeri mampu bersaing secara internasional. Pelaku-pelaku usaha dalam negeri harus mampu berproduksi seefisien mungkin dan memiliki produk dengan memiliki daya saing tinggi. Pemerintah juga dituntut untuk mempermudah proses administrasi dan menyediakan kebijakan yang tidak mempersulit pengembangan industry dalam negeri.
Membahas tentang unsur terakhir yang disebutkan oleh Porter, yaitu kesempatan. Sudah dapat dipastikan bahwa Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar bagi penjualan produk di pasar Asia Tenggara dan China. Setelah ditantanganinya perjanjian ACFTA pada tahun lalu, maka produk Indonesia dapat masuk ke negara lain di Asia Tenggara dan China tanpa ada barier seperti tarif atau bea-bea masuk lainnya. Namun, permasalahannya bukan disitu, pertanyaannya adalah apakah Indonesia mampu memanfaatkan kesempatan besar ini. Atau ternyata Indonesia hanya merugi karena perjanjian perdagangan bebas ini karena Indonesia tidak mampu dan tidak siap untuk memanfaatkan kerangka perjanjian perdagangan bebas ini.
Langganan:
Postingan (Atom)