Senin, 06 Juni 2011

Politik Global Amerika Serikat - Teori Hubungan Internasional & Kepentingan Amerika Serikat

Military Industrial Complex
Sejak dahulu, bisnis penjualan senjata Amerika Serikat ke banyak negara berkembang telah menjadi bisnis yang menjanjikan, terbukti dengan semakin meningkatnya jumlah ekspor senjata negara maju tersebut ke negara berkembang. Seperti yang diungkapkan di dalam dokumentasi BBC Inggris yang berjudul "Addicted to Arms". Dokumentasi ini mendeskripsikan penjualan senjata yang dilakukan Inggris dan Amerika sebagai ekportir senjata terbesar di dunia. Baik Inggris maupun Amerika, masing-masing memberikan alasan untuk membenarkan penjualan senjata yang mereka lakukan.
Fenomena serupa juga dapat digunakan untuk melihat transaksi penjualan senjata antara Amerika Serikat dan Korea Selatan. Perang antara Korea Utara dan Korea Selatan tahun 1950 telah memberikan trauma tersendiri bagi Korea Selatan. Perbedaan kemampuan persenjataan antara kedua negara ini saat perang Korea 1950 lalu inilah yang membuat Korea Selatan begitu tergantung pada Amerika Serikat terutama dari sisi militer dan pertahanan. Walaupun sudah jelas bahwa kekuatan militer Korea Selatan saat ini sudah jauh lebih baik dari Korea Utara. Namun Korea Selatan tetap saja tidak bisa menghilangkan ketergantungannya terhadap Amerika Serikat.
Contoh lain, ketika Amerika Serikat menjual senjatanya berupa misil Patriot, helikopter Black Hawk dan perangkat komunikasi bagi pesawat tempur F-16 ke Taiwan pada tahun 2010 lalu, padahal Taiwan sedang terlibat konflik dengan China. Namun dengan alasan yang sangat diplomatis, Amerika Serikat melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negerinya, Laura Tischler mengungkapkan bahwa penjualan senjata ini justru memberikan sumbangan pada tetap terpeliharanya keamanan dan stabilitas di Selat Taiwan.
Kebijakan penjualan senjata Amerika Serikat ini sejalan dengan konsep military industrial complex yang diperkenalkan oleh President Dwight Eisenhower pada tahun 1961. Korea Selatan misalnya, mengalokasikan dana pertahanan untuk mengatasi persepsi ancaman. Negara sebagai aktor rasional tentu saja akan membuat keputusan untuk kapabilitas ofensif dan defensif, memutuskan cara terbaik untuk memperoleh keamanan.
Pada dasarnya, Military Industrial Complex merupakan kombinasi dari kekuatan bersenjata Amerika Serikat, industri persenjataannya, dan hubungan kepentingan politik dan komersial yang tumbuh dalam skala dan intensitas yang besar serta berpengaruh sejak Perang Dunia II, sepanjang Perang Dingin hingga sekarang.
Namun, istilah Military Industrial Complex ini juga sering dipandang buruk, yaitu sebagai bentuk kolusi yang terlembaga diantara industri pertahanan swasta, jasa-jasa militer, dan pemerintah Amerika Serikat (terutama Departemen Pertahanan). Kolusi ini termasuk menghadiahkan kontrak kepada pendukung kampanye dan politisi yang tidak tepat untuk pengeluaran militer. Banyak pengamat yang mengkhawatirkan aliansi ini dikendalikan keinginan untuk mengejar keuntungan daripada kepentingan public.
Decade akhir-akhir ini, praktek kolusi ini menjadi hal yang lazim, bahkan ditempatkan dalam agenda ekonomi Amerika Serikat, beberapa orang berpendapat kebijakan pemerintah Amerika saat ini menjamin kesiapan dengan mempertahankan seluruh Negara untuk menghabiskan uang dalam jumlah besar pada teknologi militer terbaru. Selain itu, ternyata akibat hal ini, ketergantungan negara terhadap industri pertahanan untuk pekerjaan bagi masyarakat dan pajak bagi Negara semakin meningkat. Jika pemerintah Amerika secara drastic mengurangi pengeluaran militer, banyak rakyat Amerika yang bekerja di pabrik manufaktur pertahanan di seluruh negeri akan kehilangan pekerjaan mereka; kenyataan ini membuat anggota Kongres Amerika semakin sulit untuk memberikan suara untuk mendukung pengeluaran militer yang tidak perlu ini.
Military Industrial Complex ini merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Dwight D. Eisenhower, presiden Amerika Serikat pada saat pidatonya pada 17 Januari 1971. Pidatonya ditulis oleh Malcolm Moos, pidato ini ditujukan terhadap meningkatnya pengaruh industri pertahanan:
[The] conjunction of an immense military establishment and a large arms industry is new in the American experience. The total influence—economic, political, even spiritual—is felt in every city, every statehouse, every office of the federal government. We recognize the imperative need for this development. Yet we must not fail to comprehend its grave implications. Our toil, resources, and livelihood are all involved; so is the very structure of our society.
Walaupun istilah ini awalnya digunakan untuk mendeskripsikan keadaan di Amerika Serikat. Namun saat ini, istilah ini juga bias diaplikasikan untuk mendeskripsikan keadaan Negara lain. Seperti Rusia, Jerman, Inggris, Prancis.
Seperti yang diungkapkan diatas, bahwa masing-masing negara besar termasuk Amerika Serikat memiliki justifikasi sendiri untuk membenarkan ekspor senjata mereka ke negara-negara lain, termasuk membawa-bawa kepentingan rakyat. Namun terlepas dari kepentingan Amerika Serikat untuk tetap mempertahankan keberlangsungan rakyatnya, ternyata pihak yang sebenarnya diuntungkan oleh bukanlah publik Amerika, melainkan korporasi yang menginginkan agar penjualan senjata terus meningkat, para pedagang senjata yang mendapatkan komisi yang besar serta pemerintah negara kuat yang ingin terus meningkatkan geopolitical powernya. Bahkan lini tertingggi dalam pemerintahan seperti Tony Blair dan mentri luar negeri Jack Straw juga harus bertindak seperti penjual senjata dan memenangkan kontrak di luar negeri. Mereka beranggapan bahwa if they don't do it, someone else will.
Terlebih lagi, data distribusi dan transfer senjata Amerika dari 2002-2009 menunjukkan bahwa hampir sebagian besar negara yang membeli senjata dari Amerika Serikat adalah negara-negara berkembang dan juga Negara yang tengah berkonflik baik itu konflik intranegara maupun konflik antarnegara. Misalnya Korea, Taiwan, dan Thailand. Penjualan senjata terutama kepada pihak-pihak yang berkonflik ini, pasti akan semakin memperburuk kondisi konflik.
Dengan istilah yang lebih ekstrim dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat beserta korporasi-korporasi persenjataan Amerika memang sengaja memelihara dan membangkitkan konflik-konflik di berbagai negara agar industri persenjataan mereka tetap memperoleh untung besar.
Jadi dengan alasan apapun pada dasarnya, aktivitas transfer senjata negara maju kepada negara berkembang yang tengah terlibat konflik sangat riskan. Pelanggaran terhadap hak azasi manusia dan praktek-praktek seperti genosida sangat mungkin terjadi. Dan ketika negara maju diminta pertanggungjawabannya atas hal-hal seperti itu, negara besar seperti Amerika Serikat pasti telah menyiapkan “exit way” agar dapat menyelamatkan muka.

2. Tesis dari Francis Fukuyama (The End Of History and The Last Man)
The end of history and the last man merupakan sebuah buku yang ditulis oleh Francis Fukuyama, seorang teoritisi Amerika keturunan Jepang. Di dalam bukunya, Fukuyama berpendapat bahwa munculnya Demokrasi Liberal Barat merupakan tanda berakhirnya evolusi sosiokultural manusia dan merupakan bentuk akhir dari pemerintahan manusia. Tesis Fukuyama juga dibangun atas ide bahwa liberalisme akan menjadi ideology yang dominan, dan menyatakan bahwa ideologi-ideologi lain tidak akan bertahan. Sementara ideology lain runtuh, konsumerisme dan kapitalisme akan tercetak di dalam sejarah sebagai idelogi yang mampu membawa manusia pada kemakmuran.
Pada dasarnya tesis Fukuyama semakin mengagung-agungkan demokrasi ala Amerika dan juga system liberal kapitalis yang membawa Amerika Serikat menjadi negara dengan ekonomi yang sangat baik. Meskipun tesis Fukuyama ini diterima sebagian kalangan, namun tidak sedikit juga yang melontarkan kritik. Hal ini karena fenomena yang terjadi akhir-akhir ini pun juga menunjukkan gejala yang sangat kontradiktif dengan tesis Fukuyama. Semakin banyak orang yang merasa bertambah sengsara dengan kapitalisme sehingga membentuk gerakan penolakan juga munculnya system-sistem alternative yang ternyata mulai popular dan diperkirakan bisa “eksis” dan bertahan. Dan contoh yang paling baik untuk menjawab fenomena ini adalah Amerika Latin.
Dengan sistem sosialisme abad 21 (New Socialisme) yang dipopulerkan Amerika Latin ternyata mampu melahirkan system alternative baru yang terbukti mampu mengubah kehidupan rakyatnya. Bahkan system ini mampu membawa memberikan kesejahteraan dengan program-program pro rakyatnya. Hal ini tentu semakin meningkatkan popularitas para pemimpin kiri di Amerika Latin, seperti Hugo Chaves, Evo Morales dan Fidel Castro. Mereka tidak segan-segan memperlihatkan ketidaksukaannya pada system kapitalisme Amerika baik secara langsung dari tindakannya, dan juga dari kebijakan negaranya. Selain itu, banyak juga kekurangan lain dari tesis yang dibangun oleh Francis Fukuyama, ia mengatakan bahwa liberalisme dan demokrasi adalah kategori “one size fits all”. Dalam artian masing-masing demokrasi yang ada di Negara-negara di dunia dibentuk oleh demokrasi ala Amerika. Namun sejarah telah mengungkapkan bahwa masing-masing negara memiliki system demokrasi liberal mereka sendiri.

3 komentar: