Selasa, 05 April 2011

POLITIK BISNIS INTERNASIONAL- KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAGING SAPI DAN BATUBARA, SERTA MODEL BENEFIT ANALYSIS DARI KEBIJAKAN TERSEBUT

1. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Daging Sapi
Indonesia merupakan negara pengimpor terbesar sapi hidup Australia. Berdasarkan keterangan pers Meat & Livestocks Australia (MLA), Sepanjang 2008 sebanyak 651.196 ekor atau 75 persen dari total ekspor sapi hidup Australia ke pasar dunia yang tercatat 869.545 ekor. Impor Indonesia sepanjang 2008 itu naik 26 persen dari impornya tahun 2007 yang mencapai 516.992 ekor.Total nilai impor Indonesia itu mencapai 419 juta dolar Australia.
Berdasarkan peraturan yang ditetapkan dalam Cetak Biru Program Swasembada Daging (PSDS) 2014, pemerintah memberlakukan kuota impor terhadap daging-daging yang masuk ke Indonesia. Dan untuk periode tahun 2011, pemerintah menetapkan kuota impor hanya 50.000 ton saja bagi daging-daging yang impor. Menurut wakil mentri Pertanian Bayu Krisnamurthi, selama beberapa tahun terakhir ini permintaan daging jenis oxtail (buntut) meningkat 30%-40%, sementara daging jenis tenderloin meningkat 10%-12%. Sementara, tambahnya, permintaan daging kelas 2 dan kelas 3 yang digunakan untuk bahan baku bakso meningkat 35%. Lebih lanjut dia mengatakan pemerintah juga menduga bahwa sebenarnya dalam negeri tidak membutuhkan kuota daging yang tinggi hingga 90.000 ton atau sampai lebih dari 100.000 ton. “Bisa saja kuota daging sebesar 50.000 ton itu cukup untuk kebutuhan dalam negeri.
Selain itu, pemerintah juga memberlakukan kebijakan pengetatan atas impor daging sapi berupa kewajiban importir untuk menunjukkan Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) di negara pengimpor. Jika importir tidak dapat menunjukkan surat ini, maka komoditas yang akan diangkut tidak dapat dikapalkan. Pemerintah menegaskan akan bekerjasama dengan negara-negara pengimpor seperti Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Amerika untuk melakukan pengetatan impor ini.
Namun, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging (Aspidi) Thomas Sembiring, memprotes kebijakan rem mendadak yang dilakukan pemerintah dalam memutuskan besaran kuota impor daging sapi. Thomas menyebutkan bahwa akan terjadi kekurangan daging dalam negeri karena pembatasan kuota 2011 ini. Selain itu, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan juga memberikan Surat Permohonan Pemasukan (SPP) impor daging secara pilih kasih. SPP diberikan oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan tanpa melihat rekam jejak importir yang sudah lama mengimpor sesuai dengan peraturan.

Keterangan grafik:
Untuk komoditas daging sapi, Indonesia merupakan Negara pengimpor daging terbesar dari Australia. Hal ini dikarenakan permintaan daging sapi yang tinggi di dalam negeri. Namun, pemerintah Indonesia juga memberlakukan kuota impor dalam rangka mewujudkan program swasembada daging Indonesia. Pemberlakuan kuota impor ini menyebabkan harga daging dalam negeri naik dari harga dunia. Naiknya harga daging dalam negeri tentu akan menyebabkan permintaan terhadap daging impor menjadi berkurang. Seperti perubahan kurva permintaan dari D menjadi D1.
Sedangkan di pasar Australia, akibat pemberlakuan kuota impor dari Indonesia. Ekspor sapi dari Australia menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan produksi daging sapi di Australia melimpah, namun permintaan dalam negerinya tetap. Karenanya, harga daging sapi di dalam negeri Australia mengalami penurunan, akibat produksi dalam negeri yang melimpah.
2. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Batu Bara

Sejak tahun 2009 lalu, pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan pembatasan ekspor batu bara dengan kuota maksimal 150 juta ton per tahun mulai 2009 hingga 2025 dengan tujuan pengamanan kebutuhan dalam negeri. Kebijakan itu sudah tertuang Indonesian Coal Policy 2004. Ekspor tetap bisa dilakukan tapi hanya maksimal 150 juta ton per tahun. kebijakan ekspor batubara 150 juta ton per tahun berlaku dinamis. Artinya, jika permintaan dalam negeri tidak sesuai yang diperkirakan maka pembatasan ekspor diperlonggar.
Selain itu kebutuhan domestik terhadap batubara pun mulai meningkat. Sehingga kebijakan pemerintah memprioritaskan batubara untuk kebutuhan domestic. Hal ini terkait juga dengan selesainya proyek percepatan 10.000 MW tahap II, kebutuhan batubara untuk pembangkit akan mengalami peningkatan sebesar 65-70 juta ton per tahun. Pembatasan ekspor akan dilakukan setelah selesainya peraturan pemerintah sebagai amanat UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain itu permintaan pasokan batu bara juga akan digunakan untuk proyek PLTU 10.000 MW PLN dan 10.000 MW IPP (Independent Power Producer) pada 2010 lalu . Kebutuhan batu bara PLN diperkirakan mencapai 75 juta ton.
Selain itu, pemerintah juga berencana untuk melakukan pembatasan ekspor batu bara berkalori rendah. Kebijakan ini diharapkan agar produsen batubara akan lebih diuntungkan, karena batu bara yang akan diekspor adalah batu bara yang yang nilai ekonominya lebih tinggi.

Keterangan:
Untuk komoditas batubara, Indonesia memberlakukan pembatasan ekspor (Voluntary Expor Restraints). Pemberlakuan ini mengingat kebutuhan batu bara dalam negeri yang tinggi. Kekurangan di dalam negeri ini menyebabkan harga komoditas batubara di dalam negeri menjadi naik.
Dan bagi Jepang, ketika Indonesia memberlakukan pembatasan ekspor, maka harga dalam negeri akan meningkat. Karena penawaran dari Negara pengekspor dibatasi (di dalam kurva tetap). Peningkatan permintaan ini digambarkan dari pergeseran kurva D ke D1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar