Selasa, 05 April 2011

POLITIK BISNIS INTERNASIONAL - KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP BERAS DAN BAJA, SERTA MODEL BENEFIT ANALYSIS DARI KEBIJAKAN TERSEBUT

1. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Beras
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada 4 Januari 2011 lalu menegaskan bahwa Indonesia akan menghilangkan tarif impor beras dan tetap menjalankan semua kebijakan pemerintah yang terkait dengan perberasan meskipun terdapat desakan terhadap pemerintah untuk menaikkan tarif bea masuk impor beras.
Salah satu kebijakannya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 241/PMK.011/2010 tanggal 22 Desember 2010 tentang tarif bea masuk 57 komoditas pangan termasuk Beras. Dalam aturan itu, tarif bea masuk diturunkan dari Rp 450 per kg menjadi nol persen untuk berbagai jenis beras impor. Dan menurut pemerintah, kebijakan ini akan terus dijalankan oleh pemerintah dengan alasan bahwa pemerintah harus menjamin dan memastikan bahwa pasokan beras untuk rakyat tetap mencukupi dan juga menghindari gejolak harga beras di masyarakat. Dan kebijakan ini akan berakhir pada bulan maret ini.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo dengan Komisi XI DPR juga mengadakan rapat kerja pada 2 Februari lalu. Komisi XI juga mendesak Menteri Keuangan untuk mencabut PMK No. 241 tahun 2010 dengan pertimbangan bahwa beberapa daerah di Indonesia akan memproduksi padi lebih banyak karena panen raya.
Adapun PMK No. 241 ini menetapkan tarif bea masuk beras ditetapkan nol persen dan baru akan dinaikkan menjadi Rp 450 per kilogram pada 1 April 2011. PMK ini dinilai anggota Komisi XI DPR sebagai penyebab turunnya harga gabah di tingkat petani dari Rp 3.400 per kilogram menjadi Rp 2.600 per kilogram.
Pemerintah juga mengakui bahwa harga beras secara nasional sudah mulai menurun 2,2% namun pemerintah membantah bahwa panen secara nasional belum terjadi sehingga stok nasional dianggap masih belum mencukupi. Namun, BULOG sudah diperintahkan membeli gabah petani. Jika harga gabah di atas harga pembelian pemerintah, Bulog diberi fleksibilitas untuk tetap membelinya. Selisih antara harga pembelian pemerintah dan harga gabah yang dibeli Bulog akan dibayar pemerintah menggunakan dana cadangan risiko fiskal khusus untuk pengamanan stok beras senilai Rp 1 triliun dalam APBN 2011.
Selain itu, pemerintah juga menambahkan bahwa beras yang diimpor pemerintah adalah beras raskin. Yang semuanya akan dimasukkan ke Bulog dan akan digunakan untuk mengamankan cadangan raskin. Untuk itulah, impor dari luar negeri harus tetap dilakukan.
Berbeda dengan pemerintah, sebagian kalangan termasuk BPS, Komisi XI DPR dan partai oposisi PDI-P menyebutkan bahwa produksi padi pada tahun ini surplus. Disebutkan bahwa Tahun 2011, produksi gabah kering giling akan mencapai 68,8 juta ton atau setara 39,9 juta ton beras, sedangkan kebutuhan beras hanya 33,06 juta ton. Sehingga muncul keberatan terhadap kebijakan pemerintah yang mendorong impor beras dengan menurunkan tarif masuk beras impor dari dari Rp 450 kilogram menjadi nol persen. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengungkapkan bahwa jika diasumsikan konsumsi beras per kapita mencapai 139,15 kg. Dengan jumlah penduduk 237,556 juta jiwa, kebutuhan beras nasional hanya 33,06 juta ton. Ini artinya, pemerintah sebenarnya telah merencanakan surplus beras. Selain itu, dalam Nota Keuangan dan APBN 2011 yang didasari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang APBN 2011 disebutkan, produksi tahun 2011 adalah 68,8 juta ton GKG atau setara 39,9 juta ton.Jadi, dari data resmi pemerintah sendiri dapat diketahui, pada tahun 2010 ada surplus beras sebanyak 5,61 juta ton dan pada tahun 2011 ada surplus 6,84 juta ton beras.
Lalu sebenarnya atas dasar apa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 241/PMK.011/2010 tanggal 22 Desember 2010 tentang tarif bea masuk 57 komoditas pangan itu dikeluarkan? Banyak kalangan menilai kebijakan pemerintah yang meringan bea impor ini merupakan sebuah anomaly dan mestinya menjadi perhatian serius dari pemerintah karena hal ini dapat merugikan 59 juta petani (data jumlah petani tahun 2010 berdasarkan BPS) disaat menjelang panen raya di sejumlah daerah akan terjadi.
Menjadi sebuah ironi bahwa Indonesia yang dikenal sebagai Negara agraris dan kabarnya merupakan Negara yang mudah ditanami apapun, kini telah menjelma menjadi Negara pengimpor beras terbesar keempat di dunia setelah Nigeria, Filipina, dan Arab Saudi. Semua ini karena permintaan domestic yang tidak mampu dipenuhi oleh hasil produksi beras nasional. Dan kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras dari luar negeri justru akan mematikan petani kecuali pemerintah mampu menjamin untuk membeli semua padi petani.


Keterangan grafik:
a. Kondisi awal perdagangan beras di dalam negeri Indonesia menunjukkan bahwa harga beras Indonesia sangat tinggi, jauh di atas harga beras dunia. Ditunjukkan dengan titik ekuilibrium awal di home market (E)
b. Indonesia memutuskan untuk melakukan impor dengan Vietnam sebagai produsen beras yang dianggap paling efisien. Dalam artian memiliki harga domestic yang jauh lebih rendah daripada Indonesia.
c. Keputusan Indonesia untuk mengimpor beras dari Vietnam juga dibarengi dengan penetapan tariff bagi beras impor Vietnam dengan tujuan agar harga beras Indonesia bisa sedikit lebih turun namun juga untuk menghindari agar harga beras di pasar domestic tidak “terjun bebas”. Perubahan ini ditunjukkan dengan perubahan ekuilibrium awal (E) menjadi E1.
d. Dan disisi Vietnam, proses ekspor yang dilakukan ke Indonesia membuat harga domestic beras di Vietnam meningkat. Namun masih dalam “range” di bawah harga dunia. Peningkatan ini juga ditunjukkan dengan pergeseran titik ekuilibrium awal E ke E1 dan peningkatan harga.
2. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Baja
Berdasarkan Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.011/2011 yang menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia akan memberlakukan bea masuk anti dumping (BMAD) atas impor baja jenis hot rolled coil (baja canai panas/HRC) dari Republik Korea dan Malaysia. Peraturan tersebut berlaku sejak 7 Februari 2011 dan akan berlaku selama lima tahun.
Pemberlakuan BMAD ini dilakukan terkait hasil pernyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) bahwa terdapat bukti bahwa impor Hot Rolled Coil secara dumping dari kedua negara itu yang menyebabkan kerugian (injury) terhadap industri dalam negeri dan hubungan kausal antara dumping dengan kerugian yang dialami industri dalam negeri.
BMAD ini akan dikenakan pada produk impor HRC Korea dan Malaysia. Diantaranya :
a. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan pola reliefpos sebagaimana dimaksud pada tarif 7208.10.00.00.
b. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 4,75 mm atau lebih, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.25.10.00.
c. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 4,75 mm atau lebih, tidak untuk dicanai ulang, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.25.90.00.
d. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 3 mm atau lebih, tetapi kurang dari 4,75 mm sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.26.00.00.
e. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan kurang dari 3 mm, sebagaimana dimaksud pos tarif 7208.27.00.00.
f. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan melebihi 10 mm, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.36.00.00.
g. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 4,75 mm atau lebih tetapi tidak melebihi 10 mm, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.37.00.00.
h. Selain itu, produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan 3 mm atau lebih tetapi kurang dari 4,75 mm, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.38.00.00.
i. Juga produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dengan ketebalan kurang dari 3 mm, sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.39.00.00.
j. Produk canai lantaian dari besi atau baja bukan paduan, dengan lebar 600 mm atau lebih, dicanai panas, tidak dipalut, tidak disepuh atau tidak dilapisi, dalam gulungan sebagaimana dimaksud pada pos tarif 7208.90.00.00.
Semua perusahaan dari Korea Selatan kecuali Hyundai Steel Company,POSCO, Dongkuk Industries Co, dan Hyundai HYSCO akan dikenai bea masuk anti dumping dengan besar tarif 3,8 %. Dan untuk perusahaan Malaysia adalah perusahaan Megasteel Sdn Bhd, dan perusahaan lainnya dengan besar tarif BMAD 48,4 persen. Pengenaan BMAD itu merupakan tambahan bea masuk yang dipungut berdasarkan skema tarif Bea Masuk Preferensi untuk eksportir dan/atau produsen pada perusahaan yang berasal dari negara-negara yang memiliki kerjasama perdagangan dengan Indonesia.
Dalam hal skema tarif Bea Masuk Preferensi itu tidak terpenuhi, BMAD itu merupakan tambahan bea masuk yang dipungut berdasarkan Bea Masuk Umum/Most Favoured Nation.
Meskipun pemerintah menganggap bahwa tujuan pengenaan BMAD ini untuk melindungi industry dalam negeri, namun menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan NO.23/PMK.011/2011 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping terhadap Impor Hot Rolled Coil (HRC) dari Republik Korea dan Malaysia,akan menggangu dan menghambat kinerja industry hilir baja. Menurut KADIN, jika BMAD diberlakukan, produk-produk baja yang masih belum bisa dibuat di dalam negeri juga akan terkena sehingga akan mengalami penambahan biaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar