Terdapat hubungan yang kuat antara teori dan kebijakan. Teori dibutuhkan untuk menjelaskan informasi yang ada setiap harinya. Bahkan para pembuat kebijakan harus mengerti bagaimana dunia ini bekerja untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Sulit untuk membuat kebijakan yang baik tanpa memahami prinsip dasarnya, sama halnya sulit untuk mengkonstruksi teori yang baik tanpa mengetahui banyak tentang dunia yang sebenarnya.
Walaupun demikian, tidak ada satupun teori yang bisa menjelaskan kompleksitas politik dunia saat ini. Karenanya akan lebih baik jika tidak hanya mengandalkan satu teori saja. Dengan adanya kompetisi antara banyak teori akan membantu kita untuk mengungkap kekuatan dan kelemahan masing-masing teori tersebut.
Dan studi hubungan internasional dapat dipahami sebagai kompetisi yang panjang antara realisme, liberalisme, dan tradisi radikal. Realisme menekankan pada kecendrungan konflik yang terjadi antar negara, sedangkan liberalisme mengidentifikasi beberapa cara untuk mengurangi konflik, dan tradisi radikal lebih pada upaya untuk mendeskripsikan bagaimana sistem hubungan antar negara secara keseluruhan akan bertransformasi.
REALISME
Bagi realisme, hubungan internasional dilihat sebagai bentuk perjuangan power diantara negara-negara yang self-interested dan secara umum sangat pesimis pada prospek untuk menghilangkan konflik dan perang. Pemikiran-pemikiran realis sangat mendominasi pada saat perang dingin karena memberikan penjelasan yang sederhana namun kuat tentang perang , aliansi, imperialisme, dan hambatan-hambatan untuk bekerjasama
Dalam realisme juga terdapat beberapa varian. Realisme klasik dengan prominen seperti Hans Morgenthau menganggap bahwa negara sama halnya manusia, memiliki keinginan untuk menguasai orang lain, hal inilah yang menyebabkan negara saling berkonflik satu sama lain. Varian realisme lain seperti neorealist dengan prominen Kenneth Waltz tidak peduli pada human nature namun lebih fokus pada efek sistem internasional. Di dalam sistem internasional terdapat beberapa great power yang masing-masing berupaya untuk bertahan. Selain itu, sistem internasional juga bersifat anarki sehingga masing-masing negara akan berusaha untuk survive. Berbeda dengan Morgenthau, Waltz menganggap bahwa multipolar lebih stabil daripada bipolar.
Sumbangan lainnya dari realis adalah offense-defence theory. Para offensive realist seperti Robert Jervis, George Quester dan Stephen Van Evem berpendapat bahwa perang akan sering terjadi ketika Negara dengan mudah dikuasai oleh Negara lain. Ketika Negara-negara lebih memilih untuk bertindak offensive, maka keamanan Negara akan terjamin dan dorongan untu melakukan ekspansi ke Negara lain akan berkurang sehingga kerjasama akan semakin berkembang.
Sedangkan para realist defensive menganggap bahwa Negara berkeinginan untuk mempertahankan dirinya dan great power bisa menjamin keamanan mereka dengan membentuk balancing alliances. Tidak heran jika Walts dan banyak pemikir neorealist lainnya percaya bahwa Amerika Serikat sangat aman pada masa perang dingin.
Liberalisme
Beberapa argument liberalism:
a. Interdependensi ekonomi akan membuat keinginan negara untuk menggunakan kekuatan militer melawan negara lain semakin kecil, karena perang hanya akan mengancam kesejahteraan dan kemakmuran negara
b. Penyebaran demokrasi dapat menciptakan perdamaian di dunia (Woodrow Wilson)
c. Organisasi Internasional seperti IMF akan membantu mengatasi tindakan negara yang egois dengan memberikan harapan keuntungan yang lebih besar bagi negara seandainya negara tersebut bekerjasama.
Pendekatan Radikal
Ketika realisme dan liberalisme melihat sistem negara sebagai sesuatu yang bersifat “given”, Marxism menawarkan penjelasan yang berbeda bagi konflik internasional dan juga menawarkan rancangan-rancangan transformasi fundamental dalam tatanan internasional.
Sama halnya dengan realisme, marxisme juga memiliki varian-varian seperti marxis ortodoks dan neo marxis. Marxis ortodok melihat kapitalisme sebagai sumber utama konflik-konflik internasional, negara-negara kapitalis akan saling berkompetisi satu sama lain sebagai akibat dari kepentingan masing-masing negara untuk memperoleh untung sebesar-besarnya. Sedangkan neo marxist lebih fokus pada hubungan antara kekuatan-kekuatan kapitalis dengan negara-negara berkembang dalam konteks eksploitasi. Solusi untuk masalah ini bagi neo-marxist hanyalah dengan melakukan revolusi
Domestic politic
Selain tergabung dalam paradigma realis, liberal, dan marxis, sebagian scholar juga fokus pada karakteristik negara, organisasi antarpemerintah, dan pemimpin-pemimpin negara. Misalnya Graham Allison dan John Steinbruner. Mereka menggunakan teori organisasi dan politik birokrasi untuk menjelaskan politik luar negeri suatu negara. Sedangkan Irving Janis dan Jervis mengaplikasikan psikologi sosial dan kognitif untuk menjelaskan kebijakan luar negeri suatu negara.
Namun upaya ini pada dasarnya tidak ingin membentuk teori umum international behaviour, namun untuk mengidentifikasi aktor-aktor lain yang membuat negara bertindak berbeda dengan yang diprediksi oleh pendekatan realis dan liberalis.
NEW WRINKLES IN OLD PARADIGMS
Dengan berakhirnya perang dingin, pendekatan realis dianggap tidak relevan dan bahkan dianggap sampah oleh beberapa penulis. Walaupundemikian, kontribusinya seperti relative dan absolute gains telah memberikan kontribusi pada hubungan internasional. Selain itu, realis juga cepat dalam menjelaskan berbagai isu-isu baru. Seperti Barry Posen yang menawarkan pendekatan realis untuk menjelaskan konflik etnis. Posen menyatakan bahwa perpecahan di dalam Negara multietnis dapat menciptakan perpecahan antar kelompok etnis dalam kondisi anarki.
Selain itu Michael Mastanduno juga menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Amerika Serikat mencerminkan penerapan prinsip-prinsip realis. Hingga saat ini, tindakan Amerika masih dibentuk untuk memelihara dominasinya dan untuk membentuk tatanan pascaperang yang memajukan kepentingan Amerika.
Selain itu, kontribusi konseptual realis lainnya adalah pemikiran "defensive" and "offensive". Para realis defensive seperti Waltz, Van Ever dan Jack Snyder berpendapat bahwa keinginan Negara untuk menaklukkan Negara lain sangat kecil karena biaya yang harus dikeluarkan untuk penaklukkan tidak sebanding dengan keuntungan yang akan diperoleh. Selain itu, menurut mereka perang antar great power akan muncul karena kelompok-kelompok domestic terlalu melebih-lebihkan persepsi ancaman dan terlalu percaya pada kekuatan militer. Namun menurut para offensive realist seperti Eric Labs, John Mearsheimer dan Fareed Zakaria berpendapat bahwa anarki membuat semua Negara berupaya untuk memaksimalkan kekuatan mereka karena tidak ada satupun Negara yang bias menjamin kapan kekuatan-kekuatan revisionist akan muncul.
New Life for Liberalism
Kekalahan komunisme merupakan kemenangan bagi liberalisme terutama klaim Francis Fukuyama yang menyatakan bahwa manusia telah mencapai akhir dari sejarahnya. Selain itu juga mengangkat perkembangan-perkembangan lain dalam liberalisme yaitu teori Democratic peace. Democratic peace theory mengatakan bahwa Negara dengan demokrasi jauh lebih damai dibandingkan dengan Negara otokrasi. Hal ini didasarkan pada kepercayaan bahwa Negara demokrasi tidak akan dan akan sangat jarang menyerang satu sama lain.
Namun terdapat sebuah ironi bahwa kpercayaan dalam democratic peace menjadi dasar bagi kebijakan Amerika hanya sebagai penelitian tambahan hanya merupakan awal untuk mengidentifikasi beberapa klasifikasi pada teori ini.
Pertama, Snyder dan Edward Mansfield menyebutkan bahwa Negara bisa saja cendrung berperang ketika mereka berada di tengah-tengah transisi demokrasi, yang menyiratkan bahwa upaya untuk mengekspor demokrasi mungkin saja membuat kecendrungan berperang semakin besar.
Kedua, kriti-kritik dari Joanne Gowa and David Spiro menyatakan bahwa tidak adanya perang antara Negara demokrasi merupakan suatu keharusan.
Ketiga, bukti yang nyata bahwa Negara-negara demokrasi tidak menyerang satu sama lain pada era setelah tahun 1945 tidak dapat dibenarkan. Tidak adanya konflik pada perode ini lebih pada kepentingan bersama Negara-negara untuk membendung komunisme dari pada untuk menyebarkan prinsip-prinsip demokrasi.
Constructivist Theories
Ketika realism dan liberalism berfokus pada factor material seperti power atau perdagangan, pendekatan konstruktivisme menekankan pada ide. Konstruktivisme tidak menerima Negara begitu saja dan tidak hanya melihat keinginan Negara untuk survive. Namun, konstruktivisme melihat kepentingan dan identitas Negara sebagai hasil dari proses historical suatu Negara.
Konstruktivisme juga memberikan perhatian yang besar pda diskursus yang ada dalam masyarakat karena diskursus merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan serta membangun norma tindakan yang diterima secara keseluruhan.
Akhir perang dingin merupakan periode yang melegitimasi teori konstruktivis karena realism dan liberalism gagal untuk mengantisipasi dan menjelaskan kejadian. Dari perspektif konstruktivisme, isu utama era paska perang dingin adalah bagaimana kelompok-kelompok yang berbeda memahami identitas dan kepentingan mereka. Meskipun power adalah hal yang relevan, konstruktivisme menekankan bagaimana ide dan identitas dibentuk dan membentuk pemahaman dan respon Negara terhadap isu-isu tertentu.
Teori konstruktivisme cukup beragam dan tidak menawarkan seperangkat prediksi terhadap isu-isu tertentu. Konstruktivisme focus pada peran norma, dan menganggap hokum internasional dan prinsip normative lainnya telah mengurangi kedaulatan dan mengubah tujuan-tujuan legitimate Negara dalam menggunakan powernya. Selain itu, konstruktivisme juga berfokus pada kapasitas diskursus membentuk bagaimana actor-aktor politik mendefinisikan mereka dan kepentingan mereka serta kemudia memodifikasi tindakan mereka.
Domestic Politics Reconsidered
Sama seperti saat perang dingin, para sarjana terus menyelidiki dampak politik domestic terhadap perilaku Negara. Sehingga politik domestic menjadi perdebatan sentral dalam democratic peace dan juga diantara para sarjana seperti Snyder, Jeffrey Frieden, dan Helen Milner yang menyelidiki bagaimana kelompok kepentingan bias mendistorsi formasi pilihan-pilihan Negara dan menuntun Negara pada tindakan yang suboptimal. George Downs, David Rocke, dan ahli lainnya juga menyelidiki bagaimana institusi domestic bias membantu Negara mengatasi masalah tentang ketidakpastian.
TOMORROW'S CONCEPTUAL TOOLBOX
Ketika perdebatan antara realism, liberalis dan konstruktivis merefleksikan diversitas dalam studi hubungan internasional kontemporer, perdebatan tersebut juga menunjukkan tanda-tanda persamaan satu sama lain. Kebanyakan realis membahas tentang nasionalisme , militarism, etnisitas, dan factor domestic pentingnya. Sedangkan liberalis mengakui bahwa power pusat dari tindakan antar Negara. Dan konstruktivisme juga mengakui bahwa ide memiliki dampak yang besar jika di back-up oleh Negara powerfull dan dilaksanakan dengan pengaplikasian kekuatan material.
Batas-batas dari masing-masing paradigm sebenarnya dapat ditembus dan terdapat kesempatan yang sangat luas untuk melakukan arbitrasi intelektual.
Karena realism tidak dapat menjelaskan semuanya, maka pemimpin Negara yang bijak akan tetap mempertimbangan paradigma lain dalam pikirannya. Liberalism misalnya, yang mengidentifikasi instrument yang bias digunakan Negara untuk mencapai kepentingannya dan juga membantu untuk memahami kenapa Negara bias berbeda dalam pilihan-pilihan dasar mereka. Lalu konstruktivisme, merupakan teori yang paling tepat untuk menganalisis bagaimana identitas dan kepentingan bergeser dalam isu-isu internasional dan juga memicu perubahan dalam fenomena internasional.
Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing perspektif menangkap aspek-aspek penting dalam politik dunia. pemahaman kita akan sangat miskin ketika kita hanya berpikir dari satu pandangan saja. Diplomat di masa depan harus tetap mengakui bahwa penekanan realism pada peran power yang tidak dapat digantikan, tetap mempertahankan pentingnya kekuatan domestic menurut liberalis, dan juga adakalanya merefleksikan visi-visi perubahan konstruktivisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar