“Selective Engagement” merupakan salah satu visi strategi kebijakan luar negeri Amerika yang menekankan pentingnya bagi Amerika untuk memastikan perdamaian diantara great power (kekuatan-kekuatan dengan potensi-potensi industry dan militer). Dengan kapabilitas militer yang baik itulah, konflik antara great power menjadi hal yang membahayakan Amerika Serikat dibanding dengan konflik-konflik apapun. Perang antara great power akan menciptakan peluang produksi senjata pemusnah massa dalam skala besar, sebuah eksperimen yang berupaya dicegah oleh Amerika Serikat agar tidak terjadi.
Seperti halnya “New Isolationism”, “Selective Engagement” juga muncul dari tradisi realisme dan juga fokus pada power. Selain itu, seperti “Cooperative Security”, “Selective Engagement” juga tertarik pada pembahasan perdamaian. Namun berbeda dengan Neo Isolationisme yang beranggapan bahwa wilayah Amerika dan nuclear deterrence membuat Amerika begitu aman dan hegemoni Eropa bukanlah masalah keamanan yang begitu penting bagi Amerika Serikat.
Selective Engagement juga memiliki ekspektasi yang sama dengan Neo Isolationisme bahwa state balance dan nuclear weapon dapat mempertahankan status quo. Namun, menurut Selective Engagement proses balancing tersebut akan terjadi secara lambat dan Pemerintah terkadang juga mengalami miskalkulasi dan bahkan nuclear deterrence terkadang juga gagal.
Ketika Amerika memiliki kepentingan dalam perdamaian antar great power, Amerika akan berupaya dengan melakukan intervensi di wilayah yang memiliki posibilitas tertinggi terjadinya pertentangan antar great power dan juga daerah dengan konsekuensi perang yang paling serius. Selain itu, Selective Engagement juga berupaya untuk memastikan bahwa Amerika tidak menginginkan terjadinya perang dengan great power Eropa, dan untuk itu, Amerika memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghindari terjadinya hal tersebut dan juga kekuatan militer untuk masuknya aggressor.
Para pendukung Selective Engagement memulai dari dasar pemikirannya dengan landasan langkanya sumber daya Amerika. Kelangkaan ini membuat sangat tidak mungkin bagi Amerika untuk mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menjaga perdamaian di level domestik dan juga perdamaian di level internasional sekaligus. Apalagi kekuatan untuk menjadi pemimpin dalam tatanan dunia yang unipolar.
Faktanya, Amerika memang memiliki 22% gross world product , namun Amerika hanya memiliki populasi 4,6% dari populasi global. Dan pembangunan ekonomi global secara bertahap akan mengurangi keuntungan ekonomi Amerika Serikat. Selain itu, factor-faktor demografis juga membatasi kapasitas Amerika untuk melakukan intervensi dalam perang sipil yang intensif.
Issues And Instruments
Selective Engagement juga mengkhawatirkan tentang masalah proliferasi nuklir, karena proliferasi nuklir dibeberapa Negara menjadi masalah bagi Negara lain. Amerika Serikat berharap Negara-negara yang mengembangkan senjata nuklir adalah Negara yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan Amerika atau Negara yang memiliki hubungan yang baik dengan Amerika. Selain itu, Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dipandang sebagai instrument yang membolehkan Negara yang tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nuklir, atau tidak memiliki insekuritas di dalam negeri serta tidak mempunyai ambisi terhadap kepemilikan dan penggunaan senjata nuklir.
Dalam hal ini, Selective Engagement akan mengupayakan usaha-usaha untuk membujuk India, Israel, Pakistan, dan Ukraina untuk menyerahkan kapabilitas nuklirnya dan bergabung dengan NPT . Namun Amerika sangat menahan diri dalam melakukan hal ini agar tidak membuat pihak yang pada awalnya netral atau teman Amerika menjadi musuh akibat hal ini. Proliferasi juga merupakan masalah ambisi politik negara yang sensitif dengan resiko dan biaya. Korea Utara, Irak, dan Iran termasuk dalam kategori ini. Respon yang paling penting adalah untuk menyakinkan mereka bahwa mereka sedang diawasi dan Amerika Serikat akan menetang setiap ambisi-ambisi nuklir yang mungkin ada.
Bagi para pendukung Selective engagement, bagian dunia yang menjadi perhatian Amerika adalah Eropa, Asia Timur, dan juga Timur Tengah. Aliansi tradisional merupakan instrument yang tepat untuk mewujudkan kepentingan ini. Misalnya dengan NATO. Walaupun demikian, bukan berarti bagian dunia lain tidak diperhatikan oleh Amerika. Beberapa Negara juga bisa menjadi masalah dan perhatian bagi Amerika untuk beberapa alasan. Misalnya dengan Meksiko. Meksiko merupakan kepentingan luar negeri Amerika yang penting.
Selain itu, Para pendukung Selective Engagement juga memiliki perhatian yang besar dengan masalah konflik etnis yang berkemungkinan memiliki resiko untuk menciptakan perang antar great power. Misalnya masalah Rusia dan Ukraina. Mereka juga memandang intervensi kemanusiaan sebagai pertanyaan yang akan dijawab oleh proses normal politik domestic Amerika.
Nuclear Deterrence yang kuat masih dibutuhkan untuk men-deter serangan nuklir Amerika Serikat dan untuk melindungi kebebasannya dalam hal kekuatan nuklir. Sejak Amerika memiliki kepentingan dalam stabilitas di tiga kawasan, yaitu Eropa, Asia dan Timur Tengah dan ketika masalah-masalah datang secara bersamaan di dua atau lebih area yang tidak bisa ditangani, akan sangat beralasan untuk menahan kapabilitas “Two Regional Wars”.
QUESTION: “SEBERAPA MENYAKINKAN PENGGUNAAN STRATEGI SELECTIVE ENGAGEMENT DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA?”
Selective engagement merupakan strategi yang terbaik bagi Amerika. Era unipolar tidak akan bertahan selamanya, dan Amerika menyadari akan hal itu. Timbulnya rising power baru seperti China dengan perekonomian yang terus berkembang dan peningkatan kualitas kekuatan militer mengingatkan Amerika agar mulai membentuk rencana-rencana strategis dan bijaksana untuk sekarang dan untuk masa depan.
Masalah kelangkaan sumber daya yang dimiliki Amerika pada dasarnya membuat Amerika lebih rasional dan realistis dalam perumusan kebijakan luar negerinya. kondisi ekonomi Amerika yang kian melemah pun juga berkontribusi untuk membuat Amerika menjadi tidak mau ikut campur dalam masalah global, jika hal tersebut tidak benar-benar menyangkut kepentingan nasional Amerika.
Dan menurut Robert J. Art, Amerika memiliki beberapa kepentingan nasional fundamental, yaitu:
a. Melindungi tanah air mereka dari serangan
b. Mempertahankan perdamaian dengan great power di Eurasia
c. Mempertahankan akses minyak yang stabil ke Amerika
d. Memelihara tatanan ekonomi internasional yang terbuka
Kepentingan Amerika yang pertama sangat berkaitan dengan ancaman terorisme yang mengguncang Amerika sejak September 2001. Hal tersebut membuat Amerika menjadi sangat concern pada hal terorisme. Dan yang menjadi kekhawatiran Amerika adalah jika seandainya teroris memiliki senjata pemusnah massa. Karenanya Amerika selalu berupaya untuk mengawasi dan membatasi setiap Negara yang mencoba mengembangkan senjata nuklir. Karena semakin banyak Negara yang mengembangkan senjata nuklir, maka semakin besar kemungkinan senjata tersebut akan dimiliki para teroris. Hal ini dibuktikan dengan upaya keras Amerika untuk melarang dan memaksa Korea Utara dan Iran untuk menandatangani NPT. Perolehaan senjata nuklir oleh Korea Utara dimana Amerika telah menamakannya sebagai negara pendukung teror , bisa dianggap Washington sebagai ancaman keamanan serius. Dan ketika Negara-negara ini menolak, Amerika memberlakukan berbagai kebijakan dengan tujuan menekan Negara-negara tersebut. Korea Utara misalnya, yang pasokan minyaknya dihambat Amerika Serikat karena tidak mau fasilitas nuklirnya dicek dan diawasi melalui NPT.
Kepentingan kedua Amerika dapat dijelaskan dengan upaya Amerika dengan membangun aliansi utamanya di Eurasia, yaitu NATO di Eropa dan aliansi militer Amerika Serikat-Jepang di Asia. Aliansi militer inilah yang memastikan bahwa Amerika dan sebagian besar Negara Eropa telah memiliki sebuah komitmen dalam bidang pertahanan dan keamanan. Hal ini cukup untuk mencegah perang antara Amerika dan Eropa. Sehingga saat ini hubungan untuk menjaga perdamaian dengan great power di Eropa bukanlah tugas sulit bagi Amerika.
Kepentingan ketiga, terkait dengan hubungan Amerika dan Timur Tengah. Dan salah satu bentuk intervensi Amerika yang sangat jelas dengan kepentingan minyak adalah intervensi di Teluk Persia. Teluk Persia memiliki 2/3 cadangan minyak dunia dan 1/3 suplai gas alam dunia. Karenanya Teluk Persia menjadi kepentingan vital Amerika karena Amerika mengimpor 16% minyak bumi dari Teluk Persia. Walaupun hanya 16 %, pasar minyak di dunia sangat terintegrasi, jadi jika seandainya muncul actor eksternal yang mencoba menguasai Teluk Persia. Hal tersebut akan sangat membahayakan Amerika. Dan perang Teluk di tahun 2003 merupakan bukti bahwa intervensi yang dilakukan Amerika untuk menghalangi ancaman Irak terhadap distribusi minyak dari Teluk Persia. Hingga kini pun, Amerika terus meningkatkan kerjasama dengan Negara-negara di sekitar Teluk Persia seperti Kuwait, Saudi Arabia, Bahrain, Uni Emirat Arab dan Qatar.
Kepentingan keempat , Amerika berupaya untuk memelihata tatanan ekonomi internasional yang terbuka. Dalam konsep ekonomi keuntungan komparatif, keterbukaan berarti impor yang lebih murah dan peningkatan pertumbuhan ekonomi Negara. Pertumbuhan ekonomi dan level interdependensi yang tinggi dalam perekonomian akan berimbas pada hubungan antar Negara. Dalam jangka panjang, Negara di dunia akan berpikir untuk sejahtera melalui perdagangan bukan melalui perang dan keterbukaan internasional akan membawa perdamaian antar bangsa. Karenanya, Amerika Serikat melalui institusi ekonomi dan perdagangannya (WTO) berupaya menyebarkan prinsip ekonomi liberal dan perdagangan bebas ke seluruh dunia.
Dan apa yang dilakukan Selective Engagement adalah bagaimana kekuatan militer Amerika bisa digunakan untuk memajukan kepentingan nasional tadi. Ini berarti bahwa kekuatan militer Amerika akan membentuk kondisi internasional yang membantu mewujudkan kepentingan Amerika, dari pada intervensi langsung dengan menggunakan kekuatan militernya ke dalam suatu Negara. Jadi, intervensi Amerika ke Negara-negara lain tidak akan dilakukan kecuali menyangkut kepentingan Amerika. misalnya Intervensi Amerika di Libya, Amerika memiliki kepentingan ekonomi terhadap Negara tersebut sehingga ikut dalam penyerangan, walaupun tidak memimpin langsung. Penyerangan ini justru dipimpin oleh Prancis dan Inggris. Pelaksanaan strategi selective engagement juga sangat terlihat dalam intervensi Amerika ini, di mana Amerika melakukan pencapaian kepentingannya di Libya dengan mekanisme collective action sehingga dapat mengurangi biaya maupun resiko bagi Amerika sendiri.
Selain itu, selective engagement juga mementingkan strategi pertahanan. Dengan penekanan pada pentingnya basis militer Amerika di luar negeri di luar negeri. Buktinya, Amerika telah membangun berbagai aliansi militer dan membangun pangkalan militernya di beberapa Negara. Proyek pembangunan kekuatan militer Amerika di luar negeri sangat penting untuk memajukan kepentingan Amerika. Akan lebih mudah jika dilakukan dengan basis-basis d luar negeri dibandingkan dari Negara Amerika sendiri. Dengan asumsi ini juga Amerika juga lebih mudah mempengaruhi peristiwa dalam sebuah region, apabila terdapat militer Amerika di sana. Dan dalam jangka panjang, hal ini diharapkan bisa menciptakan stabilitas antar actor utama di dalam region. Hal ini ditunjukkan melalui kebijakan Amerika di Asia Timur, Amerika Serikat memberikan bantuan militer kepada Taiwan, dan mendirikan pangkalan militernya di Okinawa Jepang dan di Korea Selatan menunjukkan bahwa Amerika berupaya untuk menjaga agar menjaga stabilitas dan balance of power di Asia Timur.
Jadi, selective engagement menjelaskan bahwa tidak semua kawasan yang menjadi prioritas bagi Amerika, dan Amerika juga tidak perlu menempatkan basis militer permanennya di semua area di dunia. Secara historis, militer, ekonomi dan sumber daya alam, wilayah yang penting dan menjadi prioritas Amerika adalah Asia Timur dan Asia Tenggara, Eropa, dan Timur Tengah. Hal ini menyebabkan Amerika menjadi lebih selektif dalam penggunaan sumber daya dan power nya dalam hubungan internasional.
Kamis, 19 Mei 2011
LIMITS OF AMERICAN POWER by Joseph S. Nye, Jr
Amerika Serikat merupakan Negara yang mendominasi dunia bisnis, perdagangan dan komunikasi. Tidak hanya itu, Amerika Serikat juga merupakan Negara dengan ekonomi paling berhasil di dunia, begitu pula dengan kekuatan militernya. Karena itu sejak abad 20, Amerika Serikat telah menjadi Negara super power. Supremasi Amerika hari ini mencakup bidang ekonomi, keuangan, militer, gaya hidup, bahasa dan produk-produk kebudayaan massa yang membanjiri dunia , mempengaruhi pemikiran dan juga mempesona dunia termasuk musuh Amerika sekalipun. Dan system internasional hari ini dibangun bukan dari kondisi balance of power melainkan hegemoni Amerika. Hegemoni inilah yang menciptakan interdependensi global
Dari penjelasan diatas, tidak perlu diragukan lagi Amerika adalah kekuatan nomor satu di dunia. Namun sampai kapan situasi itu akan bertahan, dan apa yang harus kita lakukan dengan hal itu?
Banyak sarjana berpendapat bahwa keunggulan Amerika hanya merupakan hasil dari runtuhnya Uni Soviet dan kondisi unipolar ini hanya berlangsung sementara waktu. Dan bahkan sebelum September 2001, telah banyak pemikir-pemikir baik dari liberal maupun konservatif yang beranggapan bahwa merupakan suatu hukum alam dalam politik internasional,jika ada sebuah Negara yang terlalu kuat, maka Negara-negara lain akan menggabungkan diri untuk mem-balance kekuatannya. Karenanya, dominasi Amerika saat ini hanya bersifat sementara.
Buktinya, di dalam Indian Journal yang menyebutkan tentang segitiga strategis antara Rusia, India, dan China yang merupakan wujud perimbangan terhadap kondisi dunia yang unipolar atau sumber-sumber seperti The Economist yang sepakat bahwa satu-satunya super power tidak akan bertahan lama. Kehadiran China dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selain itu, tidak ada yang bertahan selamanya di dalam politik dunia, termasuk dominasi Amerika Serikat.
Lalu apa yang harus kita lakukan? di level nasional, kita membutuhkan beberapa gambaran sebagai pedoman untuk memandu kebijakan luar negeri dan memberitahu bagaimana untuk menggunakan power Negara yang sebenarnya. Dan sangat bisa dipastikan bahwa tidak ada masa depan tunggal, terdapat beberapa kemungkinan masa depan dan kualitas politik luar negeri suatu Negara yang akan mempengaruhi kualitas politik dan kebijakan luar negeri sebuah Negara. Karena, ketika dalam sebuah system terdapat interaksi kompleks dan umpan balik, maka sebuah masalah kecil akan memiliki efek yang besar.Dan ketika manusia terlibat di dalam system tersebut, maka prediksi dan respon mereka terhadap masalah mungkin saja gagal dilaksanakan.
Kita tidak bisa berharap untuk memprediksi masa depan, namun kita bisa melihat gambaran-gambaran umum yang membuat kita bisa menghindari beberapa kesalahan umum.
THE SOURCES OF AMERICAN POWER
Secara sederhana, power merupakan kemampuan untuk mempengaruhi hasil sesuai dengan apa yang diinginkan dan jika perlu, power bisa mengubah tindakan orang lain sesuai dengan yang diinginkan. Kemampuan untuk mempengaruhi outcome / hasil yang selalu diasosiasikan dengan kepemilikan terhadap sumber daya tertentu.
Selain itu power juga dianggap sebagai sebuah kepemilikan elemen-elemen tertentu dalam junlah besar seperti populasi, territorial, sumber daya alam, kekuatan ekonomi, militer dan stabilitas ekonomi. Power dalam pengertian ini adalah menggenggam kartu-kartu truf dalam permainan poker internasional. Jika kita menunjukkan bahwa kita memiliki kartu truf, maka orang lain akan menurut, namun sebaliknya, jika yang dipegang adalah kartu yang tidak berguna, berarti kita akan kehilangan hal yang menjadi tujuan.
Jika berada dalam level internasional, terdapat sebuah great power dengan kekuatan yang sangat berpengaruh di berbagai bidang. Dan secara tradisional cara untuk mengukur dan mengetes kekuatan great power ini adalah melalui perang. Perang menjadi game terakhir dalam permainan politik internasional yang dimainkan, melalui perang dapat diukur “relative power” suatu Negara.
Namun, sejalan dengan perkembangan teknologi, sumber power great power juga berubah. Sewaktu berkembanganya ekonomi agrarian masa abad 17-18 di Eropa, populasi menjadi power yang paling penting karena populasilah yang memberikan basis untuk pajak dan perekrutan infantry (mercenaries), dan kombinasi antara manusia dan uang meminggirkan Prancis. Namun di abad 19, peningkatan pentingnya industry, memberikan keuntungan bagi Inggris. Dan pada pertengahan abad 20, terkait dengan masalah nuklir, Amerika dan Uni Soviet memiliki tidak hanya kekuatan industrial, namun juga senjata nuklir dan intercontinental missiles.
Namun, hari ini fondasi power telah bergeser dari awalnya yang menekankan pada masalah kekuatan militer dan penaklukan. Penyebab salah satunya adalah nuklir.
Perubahan lain lainnya adalah bangkitnya nasionalisme yang meningkatkan kesadaran masyarakat. Selain itu, perubahan dalam masyarakat (postindustrial society), masyarakat post-industrial lebih focus pada kesejahteraan dan benci mengorbankan banyak orang. Namun bukan berarti mereka tidak menggunakan kekeradan. Dalam demokrasi modern, penggunaan kekerasan membutuhkan justifikasi moral yang terperinci untuk memastikan dukungan dari masyarakat.
Dan jina dihubungkan dengan tipe-tipe Negara di dunia hari ini, maka penggunaan kekerasan akan banyak terjadi di Negara-negara miskin dan Negara pra industry, dan untuk Negara-negara industry modern seperti India atau China, penggunaan kekerasan masih dapat diterima, sedangkan di Negara-negara post-industri, penggunaan kekerasan kurang ditolerir.
Dan bagi semua great power saat ini, penggunaan kekerasan akan membahayakan tujuan dan kepentingan ekonomi mereka. Namun hal itu bukan berarti penggunaan kekuatan militer tidak memiliki peranan dalam dalam politik internasional saat ini.
SOFT POWER
Kekuatan militer dan kekuatan ekonomi merupakan hard powe yang bisa digunakan untuk mengubah pemikiran sebuah Negara. Hard power tergantung pada mekanisme bujukan (carrot) atau ancaman (stick). Namun terdapat cara lain untuk menggunakan power. Sebuah Negara bisa mendapatkan hal yang diinginkannya karena Negara lain ingin mengikutinya, dan menghargai nilai-nilai Negara tersebut. Hal ini terjadi tanpa ancaman atau penggunaan senjata ekonomi atau militer. Power ini yang disebut soft power.
Power ini lebih bersifat mengkooptasi daripada memaksa. Soft Power tergantung pada kemampuan untuk membangun agenda politik yang membentuk preferensi Negara-negara lain. Kemampuan membentuk preferensi ini berasosiasi dengan sumber kekuatan yang intangible, seperti kebudayaan yang menarik, ideology, dan institusi.
Soft power tidak sama dengan pengaruh, walaupun soft power adalah sumber pengaruh. Seseorang bisa mempengaruhi orang lain dengan bujukan atau ancaman. Tapi Soft power lebih dari persuasi atau kemampuan untuk mempengaruhi orang-orang dengan argument. Soft power merupakan kemampuan untuk memikat dan menarik. Dan daya tarik ini yang menuntun pada penerimaan secara umum dan pada akhirnya ditiru oleh banyak orang.
Hard power dan Soft power saling terkait dan saling menguatkan satu sama lain.keduanya merupakan aspek kemampuan untuk mencapai tujuan dengan mempengaruhi tindakan pihak lain. Terkadang sumber power yang sama bisa mempengaruhi seluruh spectrum tindakan baik melalui paksaan atau bujukan. Namun soft power bukan hanya refleksi hard power. Hal ini terlihat ketika Vatikan tidak kehilangan sof power-nya ketika kehilangan Papal State di Italia apa abad 19.
Selain itu, soft power juga lebih dari kekuatan budaya. Kekuatan Amerika di dalam negeri (misalnya demokrasi), dalam institusi internasional (mendengarkan Negara lain), dan dalam kebijakan luar negeri (mempromosikan perdamaian dan hak asasi manusia) juga memiliki kontribusi membentuk image Amerika. Hal ini menyebabkan Amerika bisa menarik maupun menolak Negara lain dengan pengaruhnya. Namun soft power tidak berada di tangan pemerintah seperti halnya hard power. Sumber Soft power terpisah dari pemerintah Amerika. Hari ini, perusahaan popular Amerika atau kelompok non pemerintah mengembangkan soft power dengan harapan bisa menjadi tambahan untuk mencapai tujuan resmi kebijakan luar negeri Amerika. Semua sumber soft power ini semakin penting dalam era informasi global di abad baru ini. Dan saat yang sama kesombongan, perbedaan pendapat, dan pendekatan sempit dalam kepentingan nasional Amerika mendorong Amerika untuk lebih menggali soft powernya.
Power dalam era informasi global lebih bersifat untangible (tidak nyata) dan juga tidak koersif, terutama di Negara-negara maju.
Di dunia yang heterogen ini semua sumber kekuatan baik militer, ekonomi maupun soft power masih relevan, walaupun dalam level dan hubungan yang berbeda. Namun, jika tren ekonomi dan social saat ini terus berlanjut, maka kepemimpinan revolusi informasi dan juga soft power menjadi lebih penting.
Power di abad 21 adalah gabungan sumber-sumber hard power dan soft power. Dan hingga saat ini Amerika masih memegang power yang besar baik dalam dimensi militer, ekonomi maupun soft power. Kesalahan besar jika seandainya sebuah Negara percaya bahwa dengan hanya meningkatkan kekuatan militer akan menjamin kekuatan suatu Negara.
BALANCE OR HEGEMONY?
Hard power dan soft power Amerika hanya bagian dari cerita. Bagaimana reaksi pihak lain terhadap kekuatan Amerika menjadi lebih penting untuk dipertanyakan. Kebanyakan para realist memuji keberhasilan balance of power Eropa di abad 19, yang secara bertahap menggeser koalisiyang terdiri dari Negara dengan aggressive power. Dan mereka mendorong Amerika untuk menemukan kembali keberhasilan balance of power tesebut di level internasional
Ketika sebuah Negara menjadi sangat kuat dalam kaitannya dengan pesaing potensial, maka perang akan sangat mungkin terjadi. Namun, apakah multipolar itu baik atau buruk, masih diperdebatkan.
Terkadang, istilah balance of power juga digunakan dalam cara yang kontradiktif. Dan penggunaan yang paling menarik adalah balance of power sebagai predictor tentang bagaimana Negara akan bertindak. Apakah Negara akan membuat kebijakan yang akan mencegah Negara lain mengembangkan power yang bisa mengancam kemerdekaan Amerika. Dengan bukti-bukti sejarah, banyak orang percaya, Amerika akan terus mempertahankan koalisi yang sebenarnya membatasi kekuatan Amerika. Dengan kata lain, baik kawan maupun lawan akan bereaksi layaknya terdapat ancaman atau terdapat pihak yang dominan diantara mereka. Sehingga Negara-negara lain akan melakukan strategi balancing.
Masalah ketidakmerataan kekuatan bisa menjadi sumber perdamaian dan stabilitas internasional. Tidak pedulu bagaimana power diukur, beberapa penteori beranggapan bahwa distribusi power yang merata diantara Negara-negara besar jarang terjadi dalam sejarah dan upaya untuk mempertahankan keseimbangan malah akan menyebabkan perang. Karenanya, keberadaan hegemoni menjadi suatu yang wajar.
Dari penjelasan diatas, tidak perlu diragukan lagi Amerika adalah kekuatan nomor satu di dunia. Namun sampai kapan situasi itu akan bertahan, dan apa yang harus kita lakukan dengan hal itu?
Banyak sarjana berpendapat bahwa keunggulan Amerika hanya merupakan hasil dari runtuhnya Uni Soviet dan kondisi unipolar ini hanya berlangsung sementara waktu. Dan bahkan sebelum September 2001, telah banyak pemikir-pemikir baik dari liberal maupun konservatif yang beranggapan bahwa merupakan suatu hukum alam dalam politik internasional,jika ada sebuah Negara yang terlalu kuat, maka Negara-negara lain akan menggabungkan diri untuk mem-balance kekuatannya. Karenanya, dominasi Amerika saat ini hanya bersifat sementara.
Buktinya, di dalam Indian Journal yang menyebutkan tentang segitiga strategis antara Rusia, India, dan China yang merupakan wujud perimbangan terhadap kondisi dunia yang unipolar atau sumber-sumber seperti The Economist yang sepakat bahwa satu-satunya super power tidak akan bertahan lama. Kehadiran China dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selain itu, tidak ada yang bertahan selamanya di dalam politik dunia, termasuk dominasi Amerika Serikat.
Lalu apa yang harus kita lakukan? di level nasional, kita membutuhkan beberapa gambaran sebagai pedoman untuk memandu kebijakan luar negeri dan memberitahu bagaimana untuk menggunakan power Negara yang sebenarnya. Dan sangat bisa dipastikan bahwa tidak ada masa depan tunggal, terdapat beberapa kemungkinan masa depan dan kualitas politik luar negeri suatu Negara yang akan mempengaruhi kualitas politik dan kebijakan luar negeri sebuah Negara. Karena, ketika dalam sebuah system terdapat interaksi kompleks dan umpan balik, maka sebuah masalah kecil akan memiliki efek yang besar.Dan ketika manusia terlibat di dalam system tersebut, maka prediksi dan respon mereka terhadap masalah mungkin saja gagal dilaksanakan.
Kita tidak bisa berharap untuk memprediksi masa depan, namun kita bisa melihat gambaran-gambaran umum yang membuat kita bisa menghindari beberapa kesalahan umum.
THE SOURCES OF AMERICAN POWER
Secara sederhana, power merupakan kemampuan untuk mempengaruhi hasil sesuai dengan apa yang diinginkan dan jika perlu, power bisa mengubah tindakan orang lain sesuai dengan yang diinginkan. Kemampuan untuk mempengaruhi outcome / hasil yang selalu diasosiasikan dengan kepemilikan terhadap sumber daya tertentu.
Selain itu power juga dianggap sebagai sebuah kepemilikan elemen-elemen tertentu dalam junlah besar seperti populasi, territorial, sumber daya alam, kekuatan ekonomi, militer dan stabilitas ekonomi. Power dalam pengertian ini adalah menggenggam kartu-kartu truf dalam permainan poker internasional. Jika kita menunjukkan bahwa kita memiliki kartu truf, maka orang lain akan menurut, namun sebaliknya, jika yang dipegang adalah kartu yang tidak berguna, berarti kita akan kehilangan hal yang menjadi tujuan.
Jika berada dalam level internasional, terdapat sebuah great power dengan kekuatan yang sangat berpengaruh di berbagai bidang. Dan secara tradisional cara untuk mengukur dan mengetes kekuatan great power ini adalah melalui perang. Perang menjadi game terakhir dalam permainan politik internasional yang dimainkan, melalui perang dapat diukur “relative power” suatu Negara.
Namun, sejalan dengan perkembangan teknologi, sumber power great power juga berubah. Sewaktu berkembanganya ekonomi agrarian masa abad 17-18 di Eropa, populasi menjadi power yang paling penting karena populasilah yang memberikan basis untuk pajak dan perekrutan infantry (mercenaries), dan kombinasi antara manusia dan uang meminggirkan Prancis. Namun di abad 19, peningkatan pentingnya industry, memberikan keuntungan bagi Inggris. Dan pada pertengahan abad 20, terkait dengan masalah nuklir, Amerika dan Uni Soviet memiliki tidak hanya kekuatan industrial, namun juga senjata nuklir dan intercontinental missiles.
Namun, hari ini fondasi power telah bergeser dari awalnya yang menekankan pada masalah kekuatan militer dan penaklukan. Penyebab salah satunya adalah nuklir.
Perubahan lain lainnya adalah bangkitnya nasionalisme yang meningkatkan kesadaran masyarakat. Selain itu, perubahan dalam masyarakat (postindustrial society), masyarakat post-industrial lebih focus pada kesejahteraan dan benci mengorbankan banyak orang. Namun bukan berarti mereka tidak menggunakan kekeradan. Dalam demokrasi modern, penggunaan kekerasan membutuhkan justifikasi moral yang terperinci untuk memastikan dukungan dari masyarakat.
Dan jina dihubungkan dengan tipe-tipe Negara di dunia hari ini, maka penggunaan kekerasan akan banyak terjadi di Negara-negara miskin dan Negara pra industry, dan untuk Negara-negara industry modern seperti India atau China, penggunaan kekerasan masih dapat diterima, sedangkan di Negara-negara post-industri, penggunaan kekerasan kurang ditolerir.
Dan bagi semua great power saat ini, penggunaan kekerasan akan membahayakan tujuan dan kepentingan ekonomi mereka. Namun hal itu bukan berarti penggunaan kekuatan militer tidak memiliki peranan dalam dalam politik internasional saat ini.
SOFT POWER
Kekuatan militer dan kekuatan ekonomi merupakan hard powe yang bisa digunakan untuk mengubah pemikiran sebuah Negara. Hard power tergantung pada mekanisme bujukan (carrot) atau ancaman (stick). Namun terdapat cara lain untuk menggunakan power. Sebuah Negara bisa mendapatkan hal yang diinginkannya karena Negara lain ingin mengikutinya, dan menghargai nilai-nilai Negara tersebut. Hal ini terjadi tanpa ancaman atau penggunaan senjata ekonomi atau militer. Power ini yang disebut soft power.
Power ini lebih bersifat mengkooptasi daripada memaksa. Soft Power tergantung pada kemampuan untuk membangun agenda politik yang membentuk preferensi Negara-negara lain. Kemampuan membentuk preferensi ini berasosiasi dengan sumber kekuatan yang intangible, seperti kebudayaan yang menarik, ideology, dan institusi.
Soft power tidak sama dengan pengaruh, walaupun soft power adalah sumber pengaruh. Seseorang bisa mempengaruhi orang lain dengan bujukan atau ancaman. Tapi Soft power lebih dari persuasi atau kemampuan untuk mempengaruhi orang-orang dengan argument. Soft power merupakan kemampuan untuk memikat dan menarik. Dan daya tarik ini yang menuntun pada penerimaan secara umum dan pada akhirnya ditiru oleh banyak orang.
Hard power dan Soft power saling terkait dan saling menguatkan satu sama lain.keduanya merupakan aspek kemampuan untuk mencapai tujuan dengan mempengaruhi tindakan pihak lain. Terkadang sumber power yang sama bisa mempengaruhi seluruh spectrum tindakan baik melalui paksaan atau bujukan. Namun soft power bukan hanya refleksi hard power. Hal ini terlihat ketika Vatikan tidak kehilangan sof power-nya ketika kehilangan Papal State di Italia apa abad 19.
Selain itu, soft power juga lebih dari kekuatan budaya. Kekuatan Amerika di dalam negeri (misalnya demokrasi), dalam institusi internasional (mendengarkan Negara lain), dan dalam kebijakan luar negeri (mempromosikan perdamaian dan hak asasi manusia) juga memiliki kontribusi membentuk image Amerika. Hal ini menyebabkan Amerika bisa menarik maupun menolak Negara lain dengan pengaruhnya. Namun soft power tidak berada di tangan pemerintah seperti halnya hard power. Sumber Soft power terpisah dari pemerintah Amerika. Hari ini, perusahaan popular Amerika atau kelompok non pemerintah mengembangkan soft power dengan harapan bisa menjadi tambahan untuk mencapai tujuan resmi kebijakan luar negeri Amerika. Semua sumber soft power ini semakin penting dalam era informasi global di abad baru ini. Dan saat yang sama kesombongan, perbedaan pendapat, dan pendekatan sempit dalam kepentingan nasional Amerika mendorong Amerika untuk lebih menggali soft powernya.
Power dalam era informasi global lebih bersifat untangible (tidak nyata) dan juga tidak koersif, terutama di Negara-negara maju.
Di dunia yang heterogen ini semua sumber kekuatan baik militer, ekonomi maupun soft power masih relevan, walaupun dalam level dan hubungan yang berbeda. Namun, jika tren ekonomi dan social saat ini terus berlanjut, maka kepemimpinan revolusi informasi dan juga soft power menjadi lebih penting.
Power di abad 21 adalah gabungan sumber-sumber hard power dan soft power. Dan hingga saat ini Amerika masih memegang power yang besar baik dalam dimensi militer, ekonomi maupun soft power. Kesalahan besar jika seandainya sebuah Negara percaya bahwa dengan hanya meningkatkan kekuatan militer akan menjamin kekuatan suatu Negara.
BALANCE OR HEGEMONY?
Hard power dan soft power Amerika hanya bagian dari cerita. Bagaimana reaksi pihak lain terhadap kekuatan Amerika menjadi lebih penting untuk dipertanyakan. Kebanyakan para realist memuji keberhasilan balance of power Eropa di abad 19, yang secara bertahap menggeser koalisiyang terdiri dari Negara dengan aggressive power. Dan mereka mendorong Amerika untuk menemukan kembali keberhasilan balance of power tesebut di level internasional
Ketika sebuah Negara menjadi sangat kuat dalam kaitannya dengan pesaing potensial, maka perang akan sangat mungkin terjadi. Namun, apakah multipolar itu baik atau buruk, masih diperdebatkan.
Terkadang, istilah balance of power juga digunakan dalam cara yang kontradiktif. Dan penggunaan yang paling menarik adalah balance of power sebagai predictor tentang bagaimana Negara akan bertindak. Apakah Negara akan membuat kebijakan yang akan mencegah Negara lain mengembangkan power yang bisa mengancam kemerdekaan Amerika. Dengan bukti-bukti sejarah, banyak orang percaya, Amerika akan terus mempertahankan koalisi yang sebenarnya membatasi kekuatan Amerika. Dengan kata lain, baik kawan maupun lawan akan bereaksi layaknya terdapat ancaman atau terdapat pihak yang dominan diantara mereka. Sehingga Negara-negara lain akan melakukan strategi balancing.
Masalah ketidakmerataan kekuatan bisa menjadi sumber perdamaian dan stabilitas internasional. Tidak pedulu bagaimana power diukur, beberapa penteori beranggapan bahwa distribusi power yang merata diantara Negara-negara besar jarang terjadi dalam sejarah dan upaya untuk mempertahankan keseimbangan malah akan menyebabkan perang. Karenanya, keberadaan hegemoni menjadi suatu yang wajar.
International Relations: One World, Many Theories by Stephen M. Walt
Terdapat hubungan yang kuat antara teori dan kebijakan. Teori dibutuhkan untuk menjelaskan informasi yang ada setiap harinya. Bahkan para pembuat kebijakan harus mengerti bagaimana dunia ini bekerja untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Sulit untuk membuat kebijakan yang baik tanpa memahami prinsip dasarnya, sama halnya sulit untuk mengkonstruksi teori yang baik tanpa mengetahui banyak tentang dunia yang sebenarnya.
Walaupun demikian, tidak ada satupun teori yang bisa menjelaskan kompleksitas politik dunia saat ini. Karenanya akan lebih baik jika tidak hanya mengandalkan satu teori saja. Dengan adanya kompetisi antara banyak teori akan membantu kita untuk mengungkap kekuatan dan kelemahan masing-masing teori tersebut.
Dan studi hubungan internasional dapat dipahami sebagai kompetisi yang panjang antara realisme, liberalisme, dan tradisi radikal. Realisme menekankan pada kecendrungan konflik yang terjadi antar negara, sedangkan liberalisme mengidentifikasi beberapa cara untuk mengurangi konflik, dan tradisi radikal lebih pada upaya untuk mendeskripsikan bagaimana sistem hubungan antar negara secara keseluruhan akan bertransformasi.
REALISME
Bagi realisme, hubungan internasional dilihat sebagai bentuk perjuangan power diantara negara-negara yang self-interested dan secara umum sangat pesimis pada prospek untuk menghilangkan konflik dan perang. Pemikiran-pemikiran realis sangat mendominasi pada saat perang dingin karena memberikan penjelasan yang sederhana namun kuat tentang perang , aliansi, imperialisme, dan hambatan-hambatan untuk bekerjasama
Dalam realisme juga terdapat beberapa varian. Realisme klasik dengan prominen seperti Hans Morgenthau menganggap bahwa negara sama halnya manusia, memiliki keinginan untuk menguasai orang lain, hal inilah yang menyebabkan negara saling berkonflik satu sama lain. Varian realisme lain seperti neorealist dengan prominen Kenneth Waltz tidak peduli pada human nature namun lebih fokus pada efek sistem internasional. Di dalam sistem internasional terdapat beberapa great power yang masing-masing berupaya untuk bertahan. Selain itu, sistem internasional juga bersifat anarki sehingga masing-masing negara akan berusaha untuk survive. Berbeda dengan Morgenthau, Waltz menganggap bahwa multipolar lebih stabil daripada bipolar.
Sumbangan lainnya dari realis adalah offense-defence theory. Para offensive realist seperti Robert Jervis, George Quester dan Stephen Van Evem berpendapat bahwa perang akan sering terjadi ketika Negara dengan mudah dikuasai oleh Negara lain. Ketika Negara-negara lebih memilih untuk bertindak offensive, maka keamanan Negara akan terjamin dan dorongan untu melakukan ekspansi ke Negara lain akan berkurang sehingga kerjasama akan semakin berkembang.
Sedangkan para realist defensive menganggap bahwa Negara berkeinginan untuk mempertahankan dirinya dan great power bisa menjamin keamanan mereka dengan membentuk balancing alliances. Tidak heran jika Walts dan banyak pemikir neorealist lainnya percaya bahwa Amerika Serikat sangat aman pada masa perang dingin.
Liberalisme
Beberapa argument liberalism:
a. Interdependensi ekonomi akan membuat keinginan negara untuk menggunakan kekuatan militer melawan negara lain semakin kecil, karena perang hanya akan mengancam kesejahteraan dan kemakmuran negara
b. Penyebaran demokrasi dapat menciptakan perdamaian di dunia (Woodrow Wilson)
c. Organisasi Internasional seperti IMF akan membantu mengatasi tindakan negara yang egois dengan memberikan harapan keuntungan yang lebih besar bagi negara seandainya negara tersebut bekerjasama.
Pendekatan Radikal
Ketika realisme dan liberalisme melihat sistem negara sebagai sesuatu yang bersifat “given”, Marxism menawarkan penjelasan yang berbeda bagi konflik internasional dan juga menawarkan rancangan-rancangan transformasi fundamental dalam tatanan internasional.
Sama halnya dengan realisme, marxisme juga memiliki varian-varian seperti marxis ortodoks dan neo marxis. Marxis ortodok melihat kapitalisme sebagai sumber utama konflik-konflik internasional, negara-negara kapitalis akan saling berkompetisi satu sama lain sebagai akibat dari kepentingan masing-masing negara untuk memperoleh untung sebesar-besarnya. Sedangkan neo marxist lebih fokus pada hubungan antara kekuatan-kekuatan kapitalis dengan negara-negara berkembang dalam konteks eksploitasi. Solusi untuk masalah ini bagi neo-marxist hanyalah dengan melakukan revolusi
Domestic politic
Selain tergabung dalam paradigma realis, liberal, dan marxis, sebagian scholar juga fokus pada karakteristik negara, organisasi antarpemerintah, dan pemimpin-pemimpin negara. Misalnya Graham Allison dan John Steinbruner. Mereka menggunakan teori organisasi dan politik birokrasi untuk menjelaskan politik luar negeri suatu negara. Sedangkan Irving Janis dan Jervis mengaplikasikan psikologi sosial dan kognitif untuk menjelaskan kebijakan luar negeri suatu negara.
Namun upaya ini pada dasarnya tidak ingin membentuk teori umum international behaviour, namun untuk mengidentifikasi aktor-aktor lain yang membuat negara bertindak berbeda dengan yang diprediksi oleh pendekatan realis dan liberalis.
NEW WRINKLES IN OLD PARADIGMS
Dengan berakhirnya perang dingin, pendekatan realis dianggap tidak relevan dan bahkan dianggap sampah oleh beberapa penulis. Walaupundemikian, kontribusinya seperti relative dan absolute gains telah memberikan kontribusi pada hubungan internasional. Selain itu, realis juga cepat dalam menjelaskan berbagai isu-isu baru. Seperti Barry Posen yang menawarkan pendekatan realis untuk menjelaskan konflik etnis. Posen menyatakan bahwa perpecahan di dalam Negara multietnis dapat menciptakan perpecahan antar kelompok etnis dalam kondisi anarki.
Selain itu Michael Mastanduno juga menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Amerika Serikat mencerminkan penerapan prinsip-prinsip realis. Hingga saat ini, tindakan Amerika masih dibentuk untuk memelihara dominasinya dan untuk membentuk tatanan pascaperang yang memajukan kepentingan Amerika.
Selain itu, kontribusi konseptual realis lainnya adalah pemikiran "defensive" and "offensive". Para realis defensive seperti Waltz, Van Ever dan Jack Snyder berpendapat bahwa keinginan Negara untuk menaklukkan Negara lain sangat kecil karena biaya yang harus dikeluarkan untuk penaklukkan tidak sebanding dengan keuntungan yang akan diperoleh. Selain itu, menurut mereka perang antar great power akan muncul karena kelompok-kelompok domestic terlalu melebih-lebihkan persepsi ancaman dan terlalu percaya pada kekuatan militer. Namun menurut para offensive realist seperti Eric Labs, John Mearsheimer dan Fareed Zakaria berpendapat bahwa anarki membuat semua Negara berupaya untuk memaksimalkan kekuatan mereka karena tidak ada satupun Negara yang bias menjamin kapan kekuatan-kekuatan revisionist akan muncul.
New Life for Liberalism
Kekalahan komunisme merupakan kemenangan bagi liberalisme terutama klaim Francis Fukuyama yang menyatakan bahwa manusia telah mencapai akhir dari sejarahnya. Selain itu juga mengangkat perkembangan-perkembangan lain dalam liberalisme yaitu teori Democratic peace. Democratic peace theory mengatakan bahwa Negara dengan demokrasi jauh lebih damai dibandingkan dengan Negara otokrasi. Hal ini didasarkan pada kepercayaan bahwa Negara demokrasi tidak akan dan akan sangat jarang menyerang satu sama lain.
Namun terdapat sebuah ironi bahwa kpercayaan dalam democratic peace menjadi dasar bagi kebijakan Amerika hanya sebagai penelitian tambahan hanya merupakan awal untuk mengidentifikasi beberapa klasifikasi pada teori ini.
Pertama, Snyder dan Edward Mansfield menyebutkan bahwa Negara bisa saja cendrung berperang ketika mereka berada di tengah-tengah transisi demokrasi, yang menyiratkan bahwa upaya untuk mengekspor demokrasi mungkin saja membuat kecendrungan berperang semakin besar.
Kedua, kriti-kritik dari Joanne Gowa and David Spiro menyatakan bahwa tidak adanya perang antara Negara demokrasi merupakan suatu keharusan.
Ketiga, bukti yang nyata bahwa Negara-negara demokrasi tidak menyerang satu sama lain pada era setelah tahun 1945 tidak dapat dibenarkan. Tidak adanya konflik pada perode ini lebih pada kepentingan bersama Negara-negara untuk membendung komunisme dari pada untuk menyebarkan prinsip-prinsip demokrasi.
Constructivist Theories
Ketika realism dan liberalism berfokus pada factor material seperti power atau perdagangan, pendekatan konstruktivisme menekankan pada ide. Konstruktivisme tidak menerima Negara begitu saja dan tidak hanya melihat keinginan Negara untuk survive. Namun, konstruktivisme melihat kepentingan dan identitas Negara sebagai hasil dari proses historical suatu Negara.
Konstruktivisme juga memberikan perhatian yang besar pda diskursus yang ada dalam masyarakat karena diskursus merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan serta membangun norma tindakan yang diterima secara keseluruhan.
Akhir perang dingin merupakan periode yang melegitimasi teori konstruktivis karena realism dan liberalism gagal untuk mengantisipasi dan menjelaskan kejadian. Dari perspektif konstruktivisme, isu utama era paska perang dingin adalah bagaimana kelompok-kelompok yang berbeda memahami identitas dan kepentingan mereka. Meskipun power adalah hal yang relevan, konstruktivisme menekankan bagaimana ide dan identitas dibentuk dan membentuk pemahaman dan respon Negara terhadap isu-isu tertentu.
Teori konstruktivisme cukup beragam dan tidak menawarkan seperangkat prediksi terhadap isu-isu tertentu. Konstruktivisme focus pada peran norma, dan menganggap hokum internasional dan prinsip normative lainnya telah mengurangi kedaulatan dan mengubah tujuan-tujuan legitimate Negara dalam menggunakan powernya. Selain itu, konstruktivisme juga berfokus pada kapasitas diskursus membentuk bagaimana actor-aktor politik mendefinisikan mereka dan kepentingan mereka serta kemudia memodifikasi tindakan mereka.
Domestic Politics Reconsidered
Sama seperti saat perang dingin, para sarjana terus menyelidiki dampak politik domestic terhadap perilaku Negara. Sehingga politik domestic menjadi perdebatan sentral dalam democratic peace dan juga diantara para sarjana seperti Snyder, Jeffrey Frieden, dan Helen Milner yang menyelidiki bagaimana kelompok kepentingan bias mendistorsi formasi pilihan-pilihan Negara dan menuntun Negara pada tindakan yang suboptimal. George Downs, David Rocke, dan ahli lainnya juga menyelidiki bagaimana institusi domestic bias membantu Negara mengatasi masalah tentang ketidakpastian.
TOMORROW'S CONCEPTUAL TOOLBOX
Ketika perdebatan antara realism, liberalis dan konstruktivis merefleksikan diversitas dalam studi hubungan internasional kontemporer, perdebatan tersebut juga menunjukkan tanda-tanda persamaan satu sama lain. Kebanyakan realis membahas tentang nasionalisme , militarism, etnisitas, dan factor domestic pentingnya. Sedangkan liberalis mengakui bahwa power pusat dari tindakan antar Negara. Dan konstruktivisme juga mengakui bahwa ide memiliki dampak yang besar jika di back-up oleh Negara powerfull dan dilaksanakan dengan pengaplikasian kekuatan material.
Batas-batas dari masing-masing paradigm sebenarnya dapat ditembus dan terdapat kesempatan yang sangat luas untuk melakukan arbitrasi intelektual.
Karena realism tidak dapat menjelaskan semuanya, maka pemimpin Negara yang bijak akan tetap mempertimbangan paradigma lain dalam pikirannya. Liberalism misalnya, yang mengidentifikasi instrument yang bias digunakan Negara untuk mencapai kepentingannya dan juga membantu untuk memahami kenapa Negara bias berbeda dalam pilihan-pilihan dasar mereka. Lalu konstruktivisme, merupakan teori yang paling tepat untuk menganalisis bagaimana identitas dan kepentingan bergeser dalam isu-isu internasional dan juga memicu perubahan dalam fenomena internasional.
Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing perspektif menangkap aspek-aspek penting dalam politik dunia. pemahaman kita akan sangat miskin ketika kita hanya berpikir dari satu pandangan saja. Diplomat di masa depan harus tetap mengakui bahwa penekanan realism pada peran power yang tidak dapat digantikan, tetap mempertahankan pentingnya kekuatan domestic menurut liberalis, dan juga adakalanya merefleksikan visi-visi perubahan konstruktivisme
Walaupun demikian, tidak ada satupun teori yang bisa menjelaskan kompleksitas politik dunia saat ini. Karenanya akan lebih baik jika tidak hanya mengandalkan satu teori saja. Dengan adanya kompetisi antara banyak teori akan membantu kita untuk mengungkap kekuatan dan kelemahan masing-masing teori tersebut.
Dan studi hubungan internasional dapat dipahami sebagai kompetisi yang panjang antara realisme, liberalisme, dan tradisi radikal. Realisme menekankan pada kecendrungan konflik yang terjadi antar negara, sedangkan liberalisme mengidentifikasi beberapa cara untuk mengurangi konflik, dan tradisi radikal lebih pada upaya untuk mendeskripsikan bagaimana sistem hubungan antar negara secara keseluruhan akan bertransformasi.
REALISME
Bagi realisme, hubungan internasional dilihat sebagai bentuk perjuangan power diantara negara-negara yang self-interested dan secara umum sangat pesimis pada prospek untuk menghilangkan konflik dan perang. Pemikiran-pemikiran realis sangat mendominasi pada saat perang dingin karena memberikan penjelasan yang sederhana namun kuat tentang perang , aliansi, imperialisme, dan hambatan-hambatan untuk bekerjasama
Dalam realisme juga terdapat beberapa varian. Realisme klasik dengan prominen seperti Hans Morgenthau menganggap bahwa negara sama halnya manusia, memiliki keinginan untuk menguasai orang lain, hal inilah yang menyebabkan negara saling berkonflik satu sama lain. Varian realisme lain seperti neorealist dengan prominen Kenneth Waltz tidak peduli pada human nature namun lebih fokus pada efek sistem internasional. Di dalam sistem internasional terdapat beberapa great power yang masing-masing berupaya untuk bertahan. Selain itu, sistem internasional juga bersifat anarki sehingga masing-masing negara akan berusaha untuk survive. Berbeda dengan Morgenthau, Waltz menganggap bahwa multipolar lebih stabil daripada bipolar.
Sumbangan lainnya dari realis adalah offense-defence theory. Para offensive realist seperti Robert Jervis, George Quester dan Stephen Van Evem berpendapat bahwa perang akan sering terjadi ketika Negara dengan mudah dikuasai oleh Negara lain. Ketika Negara-negara lebih memilih untuk bertindak offensive, maka keamanan Negara akan terjamin dan dorongan untu melakukan ekspansi ke Negara lain akan berkurang sehingga kerjasama akan semakin berkembang.
Sedangkan para realist defensive menganggap bahwa Negara berkeinginan untuk mempertahankan dirinya dan great power bisa menjamin keamanan mereka dengan membentuk balancing alliances. Tidak heran jika Walts dan banyak pemikir neorealist lainnya percaya bahwa Amerika Serikat sangat aman pada masa perang dingin.
Liberalisme
Beberapa argument liberalism:
a. Interdependensi ekonomi akan membuat keinginan negara untuk menggunakan kekuatan militer melawan negara lain semakin kecil, karena perang hanya akan mengancam kesejahteraan dan kemakmuran negara
b. Penyebaran demokrasi dapat menciptakan perdamaian di dunia (Woodrow Wilson)
c. Organisasi Internasional seperti IMF akan membantu mengatasi tindakan negara yang egois dengan memberikan harapan keuntungan yang lebih besar bagi negara seandainya negara tersebut bekerjasama.
Pendekatan Radikal
Ketika realisme dan liberalisme melihat sistem negara sebagai sesuatu yang bersifat “given”, Marxism menawarkan penjelasan yang berbeda bagi konflik internasional dan juga menawarkan rancangan-rancangan transformasi fundamental dalam tatanan internasional.
Sama halnya dengan realisme, marxisme juga memiliki varian-varian seperti marxis ortodoks dan neo marxis. Marxis ortodok melihat kapitalisme sebagai sumber utama konflik-konflik internasional, negara-negara kapitalis akan saling berkompetisi satu sama lain sebagai akibat dari kepentingan masing-masing negara untuk memperoleh untung sebesar-besarnya. Sedangkan neo marxist lebih fokus pada hubungan antara kekuatan-kekuatan kapitalis dengan negara-negara berkembang dalam konteks eksploitasi. Solusi untuk masalah ini bagi neo-marxist hanyalah dengan melakukan revolusi
Domestic politic
Selain tergabung dalam paradigma realis, liberal, dan marxis, sebagian scholar juga fokus pada karakteristik negara, organisasi antarpemerintah, dan pemimpin-pemimpin negara. Misalnya Graham Allison dan John Steinbruner. Mereka menggunakan teori organisasi dan politik birokrasi untuk menjelaskan politik luar negeri suatu negara. Sedangkan Irving Janis dan Jervis mengaplikasikan psikologi sosial dan kognitif untuk menjelaskan kebijakan luar negeri suatu negara.
Namun upaya ini pada dasarnya tidak ingin membentuk teori umum international behaviour, namun untuk mengidentifikasi aktor-aktor lain yang membuat negara bertindak berbeda dengan yang diprediksi oleh pendekatan realis dan liberalis.
NEW WRINKLES IN OLD PARADIGMS
Dengan berakhirnya perang dingin, pendekatan realis dianggap tidak relevan dan bahkan dianggap sampah oleh beberapa penulis. Walaupundemikian, kontribusinya seperti relative dan absolute gains telah memberikan kontribusi pada hubungan internasional. Selain itu, realis juga cepat dalam menjelaskan berbagai isu-isu baru. Seperti Barry Posen yang menawarkan pendekatan realis untuk menjelaskan konflik etnis. Posen menyatakan bahwa perpecahan di dalam Negara multietnis dapat menciptakan perpecahan antar kelompok etnis dalam kondisi anarki.
Selain itu Michael Mastanduno juga menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Amerika Serikat mencerminkan penerapan prinsip-prinsip realis. Hingga saat ini, tindakan Amerika masih dibentuk untuk memelihara dominasinya dan untuk membentuk tatanan pascaperang yang memajukan kepentingan Amerika.
Selain itu, kontribusi konseptual realis lainnya adalah pemikiran "defensive" and "offensive". Para realis defensive seperti Waltz, Van Ever dan Jack Snyder berpendapat bahwa keinginan Negara untuk menaklukkan Negara lain sangat kecil karena biaya yang harus dikeluarkan untuk penaklukkan tidak sebanding dengan keuntungan yang akan diperoleh. Selain itu, menurut mereka perang antar great power akan muncul karena kelompok-kelompok domestic terlalu melebih-lebihkan persepsi ancaman dan terlalu percaya pada kekuatan militer. Namun menurut para offensive realist seperti Eric Labs, John Mearsheimer dan Fareed Zakaria berpendapat bahwa anarki membuat semua Negara berupaya untuk memaksimalkan kekuatan mereka karena tidak ada satupun Negara yang bias menjamin kapan kekuatan-kekuatan revisionist akan muncul.
New Life for Liberalism
Kekalahan komunisme merupakan kemenangan bagi liberalisme terutama klaim Francis Fukuyama yang menyatakan bahwa manusia telah mencapai akhir dari sejarahnya. Selain itu juga mengangkat perkembangan-perkembangan lain dalam liberalisme yaitu teori Democratic peace. Democratic peace theory mengatakan bahwa Negara dengan demokrasi jauh lebih damai dibandingkan dengan Negara otokrasi. Hal ini didasarkan pada kepercayaan bahwa Negara demokrasi tidak akan dan akan sangat jarang menyerang satu sama lain.
Namun terdapat sebuah ironi bahwa kpercayaan dalam democratic peace menjadi dasar bagi kebijakan Amerika hanya sebagai penelitian tambahan hanya merupakan awal untuk mengidentifikasi beberapa klasifikasi pada teori ini.
Pertama, Snyder dan Edward Mansfield menyebutkan bahwa Negara bisa saja cendrung berperang ketika mereka berada di tengah-tengah transisi demokrasi, yang menyiratkan bahwa upaya untuk mengekspor demokrasi mungkin saja membuat kecendrungan berperang semakin besar.
Kedua, kriti-kritik dari Joanne Gowa and David Spiro menyatakan bahwa tidak adanya perang antara Negara demokrasi merupakan suatu keharusan.
Ketiga, bukti yang nyata bahwa Negara-negara demokrasi tidak menyerang satu sama lain pada era setelah tahun 1945 tidak dapat dibenarkan. Tidak adanya konflik pada perode ini lebih pada kepentingan bersama Negara-negara untuk membendung komunisme dari pada untuk menyebarkan prinsip-prinsip demokrasi.
Constructivist Theories
Ketika realism dan liberalism berfokus pada factor material seperti power atau perdagangan, pendekatan konstruktivisme menekankan pada ide. Konstruktivisme tidak menerima Negara begitu saja dan tidak hanya melihat keinginan Negara untuk survive. Namun, konstruktivisme melihat kepentingan dan identitas Negara sebagai hasil dari proses historical suatu Negara.
Konstruktivisme juga memberikan perhatian yang besar pda diskursus yang ada dalam masyarakat karena diskursus merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan serta membangun norma tindakan yang diterima secara keseluruhan.
Akhir perang dingin merupakan periode yang melegitimasi teori konstruktivis karena realism dan liberalism gagal untuk mengantisipasi dan menjelaskan kejadian. Dari perspektif konstruktivisme, isu utama era paska perang dingin adalah bagaimana kelompok-kelompok yang berbeda memahami identitas dan kepentingan mereka. Meskipun power adalah hal yang relevan, konstruktivisme menekankan bagaimana ide dan identitas dibentuk dan membentuk pemahaman dan respon Negara terhadap isu-isu tertentu.
Teori konstruktivisme cukup beragam dan tidak menawarkan seperangkat prediksi terhadap isu-isu tertentu. Konstruktivisme focus pada peran norma, dan menganggap hokum internasional dan prinsip normative lainnya telah mengurangi kedaulatan dan mengubah tujuan-tujuan legitimate Negara dalam menggunakan powernya. Selain itu, konstruktivisme juga berfokus pada kapasitas diskursus membentuk bagaimana actor-aktor politik mendefinisikan mereka dan kepentingan mereka serta kemudia memodifikasi tindakan mereka.
Domestic Politics Reconsidered
Sama seperti saat perang dingin, para sarjana terus menyelidiki dampak politik domestic terhadap perilaku Negara. Sehingga politik domestic menjadi perdebatan sentral dalam democratic peace dan juga diantara para sarjana seperti Snyder, Jeffrey Frieden, dan Helen Milner yang menyelidiki bagaimana kelompok kepentingan bias mendistorsi formasi pilihan-pilihan Negara dan menuntun Negara pada tindakan yang suboptimal. George Downs, David Rocke, dan ahli lainnya juga menyelidiki bagaimana institusi domestic bias membantu Negara mengatasi masalah tentang ketidakpastian.
TOMORROW'S CONCEPTUAL TOOLBOX
Ketika perdebatan antara realism, liberalis dan konstruktivis merefleksikan diversitas dalam studi hubungan internasional kontemporer, perdebatan tersebut juga menunjukkan tanda-tanda persamaan satu sama lain. Kebanyakan realis membahas tentang nasionalisme , militarism, etnisitas, dan factor domestic pentingnya. Sedangkan liberalis mengakui bahwa power pusat dari tindakan antar Negara. Dan konstruktivisme juga mengakui bahwa ide memiliki dampak yang besar jika di back-up oleh Negara powerfull dan dilaksanakan dengan pengaplikasian kekuatan material.
Batas-batas dari masing-masing paradigm sebenarnya dapat ditembus dan terdapat kesempatan yang sangat luas untuk melakukan arbitrasi intelektual.
Karena realism tidak dapat menjelaskan semuanya, maka pemimpin Negara yang bijak akan tetap mempertimbangan paradigma lain dalam pikirannya. Liberalism misalnya, yang mengidentifikasi instrument yang bias digunakan Negara untuk mencapai kepentingannya dan juga membantu untuk memahami kenapa Negara bias berbeda dalam pilihan-pilihan dasar mereka. Lalu konstruktivisme, merupakan teori yang paling tepat untuk menganalisis bagaimana identitas dan kepentingan bergeser dalam isu-isu internasional dan juga memicu perubahan dalam fenomena internasional.
Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing perspektif menangkap aspek-aspek penting dalam politik dunia. pemahaman kita akan sangat miskin ketika kita hanya berpikir dari satu pandangan saja. Diplomat di masa depan harus tetap mengakui bahwa penekanan realism pada peran power yang tidak dapat digantikan, tetap mempertahankan pentingnya kekuatan domestic menurut liberalis, dan juga adakalanya merefleksikan visi-visi perubahan konstruktivisme
Selasa, 03 Mei 2011
Hubungan Internasional di Eropa - Krisis Irlandia
KRISIS EKONOMI DI IRLANDIA
Krisis yang terjadi di Irlandia pada tahun 2010 lalu ternyata sangat mempengaruhi stabilitas ekonomi Uni Eropa. Krisis Irlandia ini dimulai sebagai efek contagion dari krisis moneter yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008, yang menyebar ke Eropa dan kawasan Asia Pasifik, diantaranya Yunani, Spanyol, Portugal, dan Irlandia. Keterkaitan ekonomi yang kuat antara negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat menyebabkan penularan krisis menjadi hal yang tidak dapat dielakkan. Dan berbagai upaya pun dilakukan untuk mencegah penularan krisis yang lebih besar, salah satunya adalah upaya negara-negara Eropa untuk memberikan dana talangan (bail-out) untuk menyelamatkan institusi-insitusi keuangan yang terancam bangkrut. Dan pemberian bail-out inilah yang ternyata justru semakin memperburuk kondisi perekonomian negara Eropa yang mengalami krisis, karena dalam waktu panjang akan membuat negara mengalami defisit dan terbelit hutang dalam skala besar.
Dan Irlandia merupakan salah satu negara di Eropa yang menjalankan mekanisme bail-out ini untuk merespon krisis global. Irlandia mengeluarkan dana talangan yang cukup fantastis yaitu sebesar 544 miliar dolar atau 200 miliar Euro. Upaya bail-out ini dilakukan dengan tujuan untuk mendukung rekapitulasi lembaga-lembaga keuangan Irlandia termasuk para investor asing dan para pemegang saham. Dan salah satu lembaga-lembaga keuangan yang diberikan bail-out oleh pemerintah Irlandia adalah Anglo Irish Bank dan Allied Irish Bank. Namun, ternyata bail-out yang diberikan kepada lembaga-lembaga ini tidak dapat mengatasi krisis akibat salah manajemen. Selain itu, pemerintaha Irlandia juga mengeluarkan sebuah program penyelamatan yaitu NAMA (National Asset Management Agency). Dengan program ini pemerintah akan membeli aset-aset bank yang mengalami masalah terbesar di Irlandia. Namun, program ini pun tidak membawa ekonomi Irlandia menjadi lebih baik.
Terbukti pada saat itu, karena krisis ini Irlandia mengalami defisit anggaran sebesar 32 % dari produk domestik bruto (PDB) dan menjadi defisit terbesar di kawasan Eropa. Merosotnya perekomonian Irlandia ini juga menyeret euro ke level terendah pada 1,3181 terhadap dolar pada 29 November 2010, sebelum pulih di level 1,3232. Walaupun demikian, Euro masih belum bisa menjaga kestabilannya dan bahkan mulai merosot secara perlahan.
Dan untuk menghindari kondisi yang lebih buruk, negara-negara di Eropa yang mengalami defisit anggaran mendapatkan tekanan dari Uni Eropa untuk menyeimbangkan anggaran dengan pendapatan negaranya. Namun upaya ini membawa masalah lain bagi rakyat Irlandia, rencana pengetatan ekonomi berupa pengurangan dana kesejahteraan dan sosial mendapat kritikan dari rakyat. Perekonomian yang lesu, defisit pemerintah yang tinggi serta pengangguran yang tinggi akibat krisis, tentu akan semakin memperburuk kondisi masyarakat jika pengetatan ekonomi diberlakukan. Sehingga akhirnya, untuk menghindari memburuknya ekonomi Eropa secara keseluruhan, Uni Eropa menyetujui paket stimulus sebesar 85 milyar euro sebagai upaya penyelamatan ekonomi Irlandia. Kesepakatan ini dijadwalkan akan diratifikasi dalam pertemuan tingkat mentri yang dihadiri 27 negara anggota Uni Eropa di Brussel bertujuan untuk mencegah krisis hutang Irlandia menyebar ke 16 negara Uni Eropa lainnya.
IMF juga telah menyiapkan dana 100 milyar euro untuk menghindari krisis ekonomi Amerika 2008 jilid 2 terjadi di Eropa. Pengucuran dana talangan ini akan diberikan sesuai dengan permintaan Negara. Dan akhirnya, atas desakan Bank Sentral Eropa untuk mencegah menyebarnya krisis ke 16 negara euro-zone lainnya, akhirnya mentri keuangan Irlandia Brian Lenihan sepakat mengajukan utang kepada IMF dan Uni Eropa. Sehingga dalam pertemuan di Brussel yang dihadiri oleh 27 mentri keuangan Negara-negara Uni Eropa disepakati paket stimulus sebesar 85 milyar euro (Rp1.013 triliun) sebagai upaya penyelamatan Irlandia. Pertemuan ini juga dihadiri oleh negara-negara non-zona euro, yakni Inggris, Swedia, dan Denmark yang telah menawarkan pinjaman bilateral kepada Dublin.
Namun, hal ini membawa masalah baru bagi Irlandia. Keputusan pemerintah Irlandia untuk meminta bail out dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Uni Eropa berdampak pada krisis politik di Irlandia. Desakan mundur bagi Perdana Mentri Irlandia Brian Cohen semakin besar, tekanan ini juga datang dari partai oposisi (Sinn Fein), partai koalisi (Partai Hijau) dan bahkan dari partai Cohen sendiri (Fianna Fail). Hal ini karena pada awalnya Cohen menyangkal bahwa Irlandia membutuhkan dana talangan, namun kemudian ia sendiri yang melontarkan permintaan pinjaman. Pengakuan ini tentu menjadi pukulan politik yang besar bagi Cohen, sehingga karena dianggap gagal, desakan untuk mundur dan diadakannya pemilu semakin kuat.
Kenyataan bahwa bail-out gagal membawa Irlandia keluar dari krisis, membuat Bank Sentral Eropa (ECB) menghadapi dilemma. Presiden Bank Sentral Eropa Jean-Claude Trichet mengatakan masalah baru muncul yaitu bagaimana mengembalikan uang tanpa membangkrutkan Irlandia. ECB yang berbasis di Frankfurt ingin bergerak secepatnya dengan menjual aset perbankan Irlandia. Imbal hasi (yield) obligasi Irlandia dengan tenor 10 tahun kembali mencatat rekor tertinggi yaitu mencapai 9,77%.
ANALISIS:
A. Krisis Irlandia
Kebijakan bail-out yang diberikan oleh pemerintah kepada lembaga-lembaga keuangan bermasalah adalah kebijakan yang kurang tepat diaplikasikan untuk kasus krisis Irlandia. Pertama, pada kenyataannya bail-out yang diberikan lembaga keuangan seperti Anglo Irish Bank dan Irish Nation Wide itu hilang begitu saja akibat salah managemen. Ditambah lagi dengan pemerintah yang justru menggunakan pajak dari rakyat (17,5 miliar euro kelompok dana pensiun negara untuk mendanai bailout) untuk menyelamatkan bank-bank yang bermasalah, dan malah mengurangi penggunaan pajak untuk kesejahteraan rakyat. Jadi seolah-olah pemerintah malah menolong bank-bank yang telah menilap uang rakyat dengan pajak dari rakyat. Tak heran krisis ekonomi tersebut juga menimbulkan krisis politik di Irlandia.
Krisis politik yang terjadi akibat utang Irlandia merupakan efek domino yang harus dihadapi pemerintah Irlandia. Ketika pemerintah Irlandia melalui perdana mentrinya yang pada awalnya menyangkal bahwa Irlandia membutuhkan dana talangan, malah meminta IMF dan Uni Eropa memberikan pinjaman. Masyarakat yang telah kecewa karena uang mereka di berbagai lembaga keuangan hilang dan juga mengalami pemotongan biaya kesejahteraan, tentu akan menyalahkan pemerintah. Hal ini terbukti, dengan desakan terhadap perdana mentri Cohen untuk mundur, bahkan tuntutan ini juga muncul dari partainya sendiri, Fianna Fail.
Hal ini diperparah dengan pemerintah korup Irlandia yang membuat bail-out menjadi hal yang sia-sia. Dan yang menjadi ketakutan terbesar adalah setelah dana bail-out digunakan namun tidak menyelesaikan masalah, maka Irlandia otomatis akan terbelit utang yang sangat besar. Dan masyarakat akan kembali dirugikan, karena uang dari masyarakat akan digunakan pemerintah untuk mendanai pembayaran bail-out. Dengan kompensasi dana untuk kesejahteraan rakyat akan dipotong. dan dalam jangka panjang, utang ini akan menghancurkan ekonomi Irlandia secara keseluruhan. Dan efeknya akan sangat mempengaruhi Eropa.
B. Penyebaran Krisis ke negara Eropa lain
1. Krisis yang melanda Uni Eropa bisa dijelaskan dengan teori interdependensi Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye. Teori interdependensi menunjukkan bahwa terdapat hubungan saling ketergantungan antarnegara. Di mana negara tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga mengharuskannya bekerjasama dengan negara lain. Begitu pula negara-negara di Eropa yang saling bekerjasama satu sama lain untuk mencapai kepentingannya masing-masing. Hubungan saling ketergantungan inilah yang membuat rentannya suatu masalah yang terjadi di suatu negara juga akan mempengaruhi negara-negara yang berada disekitarnya. Termasuk masalah krisis hutang Irlandia yang saat ini membawa dampak dan pengaruh yang besar bagi perekonomian Uni Eropa.
2. Uni Eropa juga merupakan kawasan yang terintegrasi dengan satu mata uang tunggal. Dan krisis yang terjadi di Irlandia sebagai salah satu dari 16 negara euro-zone, tentu akan mempengaruhi negara lain dengan mata uang yang sama. Dalam artian Negara lain tersebut juga memiliki potensi untuk mengalami krisis yang sama dengan Irlandia. Jadi, mata uang tunggal Euro bagi negara-negara Uni Eropa juga turut mempengaruhi proses contegion krisis di Eropa.
3. Pada dasarnya memburuknya ekonomi Eropa secara keseluruhan tidak terlepas dari efek negatif proses enlargement yang dilakukan Uni Eropa sendiri. Uni Eropa yang pada awalnya ditargetkan hanya beranggotakan 12 negara, dan kini telah menjadi 27 negara telah membuat Uni Eropa kewalahan menerapkan penyeragaman terutama masalah kebijakan ekonomi. Masing-masing negara Uni Eropa memiliki permasalahan ekonomi sendiri-sendiri serta memiliki fondasi dan kekuatan ekonomi yang berbeda. Karenanya penyeragaman sulit dilakuan, sehingga dalam prakteknya walaupun kebijakan Uni Eropa telah dibentuk, Negara masih menjalankan kebijakannya masing-masing.
Referensi:
http://www.antaranews.com/berita/1291020624/euro-jatuh-pasca-bailout-irlandia
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/10/11/22/148039-atasi-krisis-irlandia-akhirnya-ajukan-utang-ke-imf-dan-uni-eropa
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/11/30/149438-uni-eropa-sepakat-talangi-irlandia-rp1-013-triliun
http://www.seputarforex.com/dilema-bank-sentral-eropa
Krisis yang terjadi di Irlandia pada tahun 2010 lalu ternyata sangat mempengaruhi stabilitas ekonomi Uni Eropa. Krisis Irlandia ini dimulai sebagai efek contagion dari krisis moneter yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008, yang menyebar ke Eropa dan kawasan Asia Pasifik, diantaranya Yunani, Spanyol, Portugal, dan Irlandia. Keterkaitan ekonomi yang kuat antara negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat menyebabkan penularan krisis menjadi hal yang tidak dapat dielakkan. Dan berbagai upaya pun dilakukan untuk mencegah penularan krisis yang lebih besar, salah satunya adalah upaya negara-negara Eropa untuk memberikan dana talangan (bail-out) untuk menyelamatkan institusi-insitusi keuangan yang terancam bangkrut. Dan pemberian bail-out inilah yang ternyata justru semakin memperburuk kondisi perekonomian negara Eropa yang mengalami krisis, karena dalam waktu panjang akan membuat negara mengalami defisit dan terbelit hutang dalam skala besar.
Dan Irlandia merupakan salah satu negara di Eropa yang menjalankan mekanisme bail-out ini untuk merespon krisis global. Irlandia mengeluarkan dana talangan yang cukup fantastis yaitu sebesar 544 miliar dolar atau 200 miliar Euro. Upaya bail-out ini dilakukan dengan tujuan untuk mendukung rekapitulasi lembaga-lembaga keuangan Irlandia termasuk para investor asing dan para pemegang saham. Dan salah satu lembaga-lembaga keuangan yang diberikan bail-out oleh pemerintah Irlandia adalah Anglo Irish Bank dan Allied Irish Bank. Namun, ternyata bail-out yang diberikan kepada lembaga-lembaga ini tidak dapat mengatasi krisis akibat salah manajemen. Selain itu, pemerintaha Irlandia juga mengeluarkan sebuah program penyelamatan yaitu NAMA (National Asset Management Agency). Dengan program ini pemerintah akan membeli aset-aset bank yang mengalami masalah terbesar di Irlandia. Namun, program ini pun tidak membawa ekonomi Irlandia menjadi lebih baik.
Terbukti pada saat itu, karena krisis ini Irlandia mengalami defisit anggaran sebesar 32 % dari produk domestik bruto (PDB) dan menjadi defisit terbesar di kawasan Eropa. Merosotnya perekomonian Irlandia ini juga menyeret euro ke level terendah pada 1,3181 terhadap dolar pada 29 November 2010, sebelum pulih di level 1,3232. Walaupun demikian, Euro masih belum bisa menjaga kestabilannya dan bahkan mulai merosot secara perlahan.
Dan untuk menghindari kondisi yang lebih buruk, negara-negara di Eropa yang mengalami defisit anggaran mendapatkan tekanan dari Uni Eropa untuk menyeimbangkan anggaran dengan pendapatan negaranya. Namun upaya ini membawa masalah lain bagi rakyat Irlandia, rencana pengetatan ekonomi berupa pengurangan dana kesejahteraan dan sosial mendapat kritikan dari rakyat. Perekonomian yang lesu, defisit pemerintah yang tinggi serta pengangguran yang tinggi akibat krisis, tentu akan semakin memperburuk kondisi masyarakat jika pengetatan ekonomi diberlakukan. Sehingga akhirnya, untuk menghindari memburuknya ekonomi Eropa secara keseluruhan, Uni Eropa menyetujui paket stimulus sebesar 85 milyar euro sebagai upaya penyelamatan ekonomi Irlandia. Kesepakatan ini dijadwalkan akan diratifikasi dalam pertemuan tingkat mentri yang dihadiri 27 negara anggota Uni Eropa di Brussel bertujuan untuk mencegah krisis hutang Irlandia menyebar ke 16 negara Uni Eropa lainnya.
IMF juga telah menyiapkan dana 100 milyar euro untuk menghindari krisis ekonomi Amerika 2008 jilid 2 terjadi di Eropa. Pengucuran dana talangan ini akan diberikan sesuai dengan permintaan Negara. Dan akhirnya, atas desakan Bank Sentral Eropa untuk mencegah menyebarnya krisis ke 16 negara euro-zone lainnya, akhirnya mentri keuangan Irlandia Brian Lenihan sepakat mengajukan utang kepada IMF dan Uni Eropa. Sehingga dalam pertemuan di Brussel yang dihadiri oleh 27 mentri keuangan Negara-negara Uni Eropa disepakati paket stimulus sebesar 85 milyar euro (Rp1.013 triliun) sebagai upaya penyelamatan Irlandia. Pertemuan ini juga dihadiri oleh negara-negara non-zona euro, yakni Inggris, Swedia, dan Denmark yang telah menawarkan pinjaman bilateral kepada Dublin.
Namun, hal ini membawa masalah baru bagi Irlandia. Keputusan pemerintah Irlandia untuk meminta bail out dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Uni Eropa berdampak pada krisis politik di Irlandia. Desakan mundur bagi Perdana Mentri Irlandia Brian Cohen semakin besar, tekanan ini juga datang dari partai oposisi (Sinn Fein), partai koalisi (Partai Hijau) dan bahkan dari partai Cohen sendiri (Fianna Fail). Hal ini karena pada awalnya Cohen menyangkal bahwa Irlandia membutuhkan dana talangan, namun kemudian ia sendiri yang melontarkan permintaan pinjaman. Pengakuan ini tentu menjadi pukulan politik yang besar bagi Cohen, sehingga karena dianggap gagal, desakan untuk mundur dan diadakannya pemilu semakin kuat.
Kenyataan bahwa bail-out gagal membawa Irlandia keluar dari krisis, membuat Bank Sentral Eropa (ECB) menghadapi dilemma. Presiden Bank Sentral Eropa Jean-Claude Trichet mengatakan masalah baru muncul yaitu bagaimana mengembalikan uang tanpa membangkrutkan Irlandia. ECB yang berbasis di Frankfurt ingin bergerak secepatnya dengan menjual aset perbankan Irlandia. Imbal hasi (yield) obligasi Irlandia dengan tenor 10 tahun kembali mencatat rekor tertinggi yaitu mencapai 9,77%.
ANALISIS:
A. Krisis Irlandia
Kebijakan bail-out yang diberikan oleh pemerintah kepada lembaga-lembaga keuangan bermasalah adalah kebijakan yang kurang tepat diaplikasikan untuk kasus krisis Irlandia. Pertama, pada kenyataannya bail-out yang diberikan lembaga keuangan seperti Anglo Irish Bank dan Irish Nation Wide itu hilang begitu saja akibat salah managemen. Ditambah lagi dengan pemerintah yang justru menggunakan pajak dari rakyat (17,5 miliar euro kelompok dana pensiun negara untuk mendanai bailout) untuk menyelamatkan bank-bank yang bermasalah, dan malah mengurangi penggunaan pajak untuk kesejahteraan rakyat. Jadi seolah-olah pemerintah malah menolong bank-bank yang telah menilap uang rakyat dengan pajak dari rakyat. Tak heran krisis ekonomi tersebut juga menimbulkan krisis politik di Irlandia.
Krisis politik yang terjadi akibat utang Irlandia merupakan efek domino yang harus dihadapi pemerintah Irlandia. Ketika pemerintah Irlandia melalui perdana mentrinya yang pada awalnya menyangkal bahwa Irlandia membutuhkan dana talangan, malah meminta IMF dan Uni Eropa memberikan pinjaman. Masyarakat yang telah kecewa karena uang mereka di berbagai lembaga keuangan hilang dan juga mengalami pemotongan biaya kesejahteraan, tentu akan menyalahkan pemerintah. Hal ini terbukti, dengan desakan terhadap perdana mentri Cohen untuk mundur, bahkan tuntutan ini juga muncul dari partainya sendiri, Fianna Fail.
Hal ini diperparah dengan pemerintah korup Irlandia yang membuat bail-out menjadi hal yang sia-sia. Dan yang menjadi ketakutan terbesar adalah setelah dana bail-out digunakan namun tidak menyelesaikan masalah, maka Irlandia otomatis akan terbelit utang yang sangat besar. Dan masyarakat akan kembali dirugikan, karena uang dari masyarakat akan digunakan pemerintah untuk mendanai pembayaran bail-out. Dengan kompensasi dana untuk kesejahteraan rakyat akan dipotong. dan dalam jangka panjang, utang ini akan menghancurkan ekonomi Irlandia secara keseluruhan. Dan efeknya akan sangat mempengaruhi Eropa.
B. Penyebaran Krisis ke negara Eropa lain
1. Krisis yang melanda Uni Eropa bisa dijelaskan dengan teori interdependensi Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye. Teori interdependensi menunjukkan bahwa terdapat hubungan saling ketergantungan antarnegara. Di mana negara tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga mengharuskannya bekerjasama dengan negara lain. Begitu pula negara-negara di Eropa yang saling bekerjasama satu sama lain untuk mencapai kepentingannya masing-masing. Hubungan saling ketergantungan inilah yang membuat rentannya suatu masalah yang terjadi di suatu negara juga akan mempengaruhi negara-negara yang berada disekitarnya. Termasuk masalah krisis hutang Irlandia yang saat ini membawa dampak dan pengaruh yang besar bagi perekonomian Uni Eropa.
2. Uni Eropa juga merupakan kawasan yang terintegrasi dengan satu mata uang tunggal. Dan krisis yang terjadi di Irlandia sebagai salah satu dari 16 negara euro-zone, tentu akan mempengaruhi negara lain dengan mata uang yang sama. Dalam artian Negara lain tersebut juga memiliki potensi untuk mengalami krisis yang sama dengan Irlandia. Jadi, mata uang tunggal Euro bagi negara-negara Uni Eropa juga turut mempengaruhi proses contegion krisis di Eropa.
3. Pada dasarnya memburuknya ekonomi Eropa secara keseluruhan tidak terlepas dari efek negatif proses enlargement yang dilakukan Uni Eropa sendiri. Uni Eropa yang pada awalnya ditargetkan hanya beranggotakan 12 negara, dan kini telah menjadi 27 negara telah membuat Uni Eropa kewalahan menerapkan penyeragaman terutama masalah kebijakan ekonomi. Masing-masing negara Uni Eropa memiliki permasalahan ekonomi sendiri-sendiri serta memiliki fondasi dan kekuatan ekonomi yang berbeda. Karenanya penyeragaman sulit dilakuan, sehingga dalam prakteknya walaupun kebijakan Uni Eropa telah dibentuk, Negara masih menjalankan kebijakannya masing-masing.
Referensi:
http://www.antaranews.com/berita/1291020624/euro-jatuh-pasca-bailout-irlandia
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/10/11/22/148039-atasi-krisis-irlandia-akhirnya-ajukan-utang-ke-imf-dan-uni-eropa
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/11/30/149438-uni-eropa-sepakat-talangi-irlandia-rp1-013-triliun
http://www.seputarforex.com/dilema-bank-sentral-eropa
Politik Global Amerika Serikat - Review : Realism and Idealism by Norman E. Graebner
Realisme dan idealisme merupakan perspektif yang menawarkan pendekatan yang berbeda dalam pengertian dan cara mewujudkan kepentingan nasional sebuah negara. Realisme mencoba untuk menerima kondisi dunia apa adanya dan juga mendefinisikan instrumen kebijakan suatu negara dengan menilai keuntungan, kerugian, dan peluang terwujudnya kepentingan nasional. Sedangkan liberalisme berupaya untuk mendefinisikan tujuan negara dalam bentuk ideal, dan visioner. Pencapaian kebijakan suatu negara tergantung pada diplomasi dan kekuatan negara.
Dua doktrin ini sangat berkembang di Amerika Serikat, tidak hanya itu, realisme dan idealisme benar-benar tumbuh baik secara teori maupun praktek di Amerika Serikat. Termasuk perdebatan antara dua doktrin ini. Perdebatan dasar antara dua doktrin ini terkait dengan kebutuhan dan kemungkinan bagi aksi-aksi eksternal dalam dunia yang anarki.
Pada dasarnya, kajian utama realisme selalu berkaitan dengan national interest dan security. Bagi realisme, tidak ada alternatif lain selain hidup berdampingan dalam dunia yang anarki dan menerika sistem negara modern sebagai sebuah keharusan. Selain itu, negara juga berkewajiban melindungi kepentingan nasional baik dengan diplomasi maupun dengan perang. Dan terkait fenomena perang, bagi realisme, perang bukanlah fenomena yang menyimpang. Namun, terkadang juga merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Secara umum, perang juga merupakan alat untuk melakukan perubahan kondisi politik dan teritorial yang tidak diinginkan.
Berbeda dengan realisme, idealisme memandangkan bahwa pertentangan baik dalam struktur nasional negara maupun dalam praktek internasional merupakan sesuatu yang tidak penting. Idealisme juga lebih fokus pada pada kesejahteraan individu dan juga kepentingan umum kemanusiaan. Dan juga mementingkan norma, hukum, dan prinsip-prinsip universal untuk dapat diaplikasikan dalam urusan-urusan domestik.
Terkait dengan determinan utama yang mempengaruhi tindakan negara dalam politik internasional. Realis beranggapan bahwa faktor-faktor eksternal yang mendefinisikan pilihan-pilihan bagi para pembuat keputusan. Pilihan-pilihan tersebut tidak pasti dan sulit dipahami serta membutuhkan kesiapan dan kewaspadaan untuk memutuskannya. Sebaliknya, idealisme memandang sumber dari tindakan aktor eksternal berasal dari proses politik internal, yaitu berdasarkan struktur politik, distribusi kekuatan politik, dan ambisi elit-elit berkuasa. Keterlibatan aktor-aktor eksternal bukanlah merupakan hal yang penting, dan pilihan internal merupakan hal paling penting. Bagi idealis, bentuk pemerintahan yang berbeda akan membentuk model kebijakan luar negeri yang berbeda pula.
Walaupun realis memandang negara sebagai aktor yang agresif. Namun, realis juga mengakui tentang keterbatasan niat dan kekuatan negara untuk mengintervensI yaitu kedaulatan nasional suatu negara. Sedangkan liberalisme, menaruh harapan yang besar terhadap diri mereka sendiri dan juga masyarakat. Bagi mereka, dunia tidak sepenuhnya korup. Melalui kepemimpinan dan motivasi yang tepat, dunia bisa baik secara politik maupun moral.
THE REVOLUSIONARY ERA
Idealis Amerika Serikat yang beranggapan untuk meminimalkan peran negara dalam power politic merupakan pengaruh debat politikus, dan jurnalis Inggris abad 18, walaupun Inggris dan koloni Amerikanya pernah terlibat pertentang setelah perang 7 tahun. Namun terdapat ikatan yang cukup kuat antara Inggris dan Amerika. Sehingga kemudian, seorang penulis Amerika bernama Thomas Paine menciptakan mata rantai antara pemikir reformis Inggris dengan koloninya. Dalam essainya berjudul Common Sense. Tulisan Paine ini memuat asumsi-asumsi fundamental pemikiran idealis dalam hal kebijakan luar negeri. Menurutnya, republik yang bebas dari kontaminasi dan desakan power politic secara ideal akan membentuk tatanan baru dalam world affairs. Selain itu, bagi Paine, pada dasarnya manusia bukanlah musuh bagi manusia lainnya. Namun karena system pemerintahan yang salah, manusia bisa menjadi musuh satu sama lain. Prinsip moral akan menciptakan perdamaian dalam hubungan antar individu, dan juga tidak mungkin akan mengatur tindakan Negara-negara.
Terdapat beberapa tokoh Amerika yang juga sepakat dengan pemikiran Paine, seperti Benjamin Franklin dan Thomas Jefferson. Namun, berbeda dengan Paine, Jefferson dipandang memiliki aspirasi yang lebih modern. Para konservatif modern mengkritik para utopian idealis Paine terkait dengan masa depan dunia dan peran Amerika Serikat dalam pembentukannya. Bagi mereka, yang menentukan tindakan eksternal suatu Negara bukanlah karena keunikan struktur politik mereka atau karena pandangan orang-orang di dalamnya, tapi adalah lingkungan internasional yang berada diluar kendali Negara, dan juga karena tuntutan yang dibebankan oleh ambisi Negara untuk menghalangi kepentingan Negara lain.
Alexander Hamilton dalam “The Federalis mengungkapkan bahwa world of power politic Amerika berada dalam bahaya. Beberapa orang Amerika, menurutnya terlalu senang dengan teori-teori yang menjanjikan mereka untuk bebas dari ketidaksempurnaan, kelemahan, dan kejahatan yang ada di dalam masyarakat dalam setiap bidang kehidupan. Akan lebih baik bagi Negara untuk menganggap bahwa kebijaksanaan dan kebaikan itu sama sekali tidak ada. Mencari harmoni antar Negara independen itu tidak mungkin dilakukan. Sehingga perang merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Untuk keamanan nasional, perlu pemerintahan yang kuat, memiliki kemampuan untuk berperang.
THE EARLY NATIONAL PERIOD
Revolusi Prancis dan perang revolusioner antara Prancis dan Inggris setelah tahun1792, semakin mambangkitkan pertentangan antara Jefferson da Hamilton, mentri luar negeri dan menteri keuangan kabinet presiden George Washington. Awalnya, idealis seperti Paine dan Jefferson sangat membenci power politic dan perang, dan realis seperti Hamilton mengajarkan kesiapan negara untuk berperang. Menurut idealisme, sewaktu revolusi prancis, Amerika Serikat seharusnya membantu Prancis. Sedangkan Hamilton dan Wasington cendrung lebih memilih untuk netral. Dan pilihan inilah yang dipakai oleh Presiden Wahington saat itu.
Jefferson, dalam perdebatan lainnya dengan Hamilton tentang kebijaksanaan dan moralitas dalam proklamasi Washington. Jefferson mendasarkan anjurannya agar Amerika membantu Prancis dalam perang revolusionernya pada kewajiban dibawah aliansi Franco-America tahun 1778. Selain itu, dukungan ini juga bentuk balasan atas bantuan Prancis terhadap Amerika selama perang melawan Inggris. Selain itu, Prancis juga merupakan negara republik seperi Amerika. Argumen Jefferson ini lebih berupa sentimen daripada kepentingan Amerika. Sehingga Hamilton pun mengkritik argumen ini dalam sebuah”long public letter-Pacificus” pada 6 juli1793. Menurut Hamilton, Amerika pada saat itu tidak memiliki kekuatan untuk membantu Prancis dalam perang Eropa. Tidak ada negara yang berkewajiban untuk melakukan hal yang tidak bisa ia lakukan. Selanjutnya terkait dengan bantuan Prancis diberikan pada Amerika saat perang dengan Inggris. Menurut Hamilton, Prancis memberikan bantuan kepada Amerika bukan demi menolong Amerika Serikat namun juga untuk memenuhi kepentinganya untuk mengalahkan Inggris. Pemerintah Amerika tidak bisa bertindak sebagai individu, negara harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya sepanjang waktu. Selain itu, Hamilton juga menolak bahwa penyebab terjadinya revolusi Prancis adalah karena “liberty” atau kegagalan prinsip revolusioner Prancis.
LATIN AMERICA AND GREECE
Pada tahun 1815, setelah menghadapi Inggris, terjadi ledakan nasionalisme dan perasaan sangat puas setelah berhadapan dengan Inggris. Di satu sisi, pengalaman perang ini merupakan kebanggaan berbeda dan terpisah dari Eropa dalam politik internasional. Selain itu juga semakin mengabadikan debat antara realisme dan idealisme di Amerika Serikat. Pasca perang, muncullah tantangan baru dalam sentimen Amerika, yaitu perjuangan Amerika Latin untuk merdeka dari Spanyol. Kembali, Amerika Serikat dituntut publik untuk membantu Amerika Latin. Namun Amerika yang pada saat itu dipimpin oleh Monroe bersama mentri luar negerinya Quincy Adam tetap bersikap netral hingga 1821. Ketika kekuatan revolusioner berhasil menghancurkan Spanyol di Amerika Selatan. Amerika melalui pesan khusus kepada Kongres mengungkapkan bahwa Amerika pada 8 Maret 1822 mengakui kemerdekaan Argentina, Peru, Chile, Columbia, dan Meksiko.
Peristiwa serupa pun terjadi di Yunani, yaitu revolusi Yunani pada tahun 1821. Sultan Turki mahmud II melawan revolusioner Yunani dengan kekerasan yang membangkitkan sentimen anti Turki di seluruh Eropa Barat dan Amerika Serikat. Amerika pun menunjukkan reaksinya melalui pernyataan Presiden Monroe bahwa Amerika menyayangkan kebijakan Turki yang sewenang-wenang. Namun Adam sangat menentang setiap campur tangan Amerika Serikat baik di Turki maupun Yunani terutama Amerika tidak siap untuk melakukan intervensi baik secara keuangan maupun militer. Sehingga, upaya untuk kemerdekaan Yunani kemudian dihapuskan dari dalam pertimbangan negara.
MONROE DOCTINE
Walaupun menjadi subjek kontroversi, Doktrin Monroe setelah pengumumannya pada1823 masih diperdebatkan artinya. Bagi realis, doktrin monroe merepresentasikan kepentingan fundamental untuk mempertahankan posisi negara sebagai kekuatan dominan di dunia. Bagi realisme, sangat realistis, bahwa tujuan Amerika adalah untuk mencegah munculnya kekuatan rival di dunia Barat. Dan Amerika Serikat memerlukan perang atau ancaman perang untuk melindungi kepentingan yang paling esensial. Sedangkan bagi idealisme, doktrin Monroe adalah deklarasi besar-besaran prinsip-prinsip liberal. Bagi idealis, Amerika Serikat mempromosikan kebebasan di Amerika Latin. Doktrin ini juga wujud nilai ideal demokrasi universal dan prinsip-prinsip abstrak yang akan mempengaruhi ekonomi dan keamanan Amerika. Berbeda dengan idealis, John Tyler memandang bahwa dalam prakteknya doktrin Monroe bukanlah prinsip tapi kebijakan.
WAR WITH SPAIN
Selama periode antara tahun 1815 hingga 1898. Idealisme dan realisme Amerika tetap terpisah. Yang satu berada di dunia opini, ide, dan moral. Selain yang lainnya, berada di dunia dengan kebijakan dan tindakan. Namun pada tahun 1898, pembagian tersebut mulai hilang. Gelombang semangat baru melawan realisme mulai muncul.
Setelah peristiwa pemberontakan Kuba pada Februari 1895, Junta Kuba yang bermasrkas di New York, dibantu Liga Kuba meluncurkan kampanye untuk keterlibatan Amerika Srikat dalam perjuangan Kuba untuk kemerdekaan. Dan pada 21 april Amerika Serikat memutuskan hubungan diplomatik dengan Spanyol dan mendeklarasikan perang untuk kemerdekaan Kuba.
Beberapa rakyat Amerika berupaya menjustifikasi perang tersebut dalam pengertian kemanusiaan. Motif seperti itu tidak aneh dalam pemikiran liberal Amerika.
CHINA AND OPEN DOOR POLICY
Kejadian di China menggambarkan bahwa keterlibatan Amerika semakin besar di Pasifik Barat. Setelah 1897, kelemahan politik dan militer China akan menyebakan pelanggaran yang mengancam status China menjadi negara kolonial. Pada saat pemerintahan Mc Kinley, melalui mentri luar negerinya John Hay yang mengeluarkan “Open Door Notes of 1899 and 1900” menyelamatkan China dari disintegrasi yang lebih parah. Pada akhirnya, intervensi Amerika Serikat di China menunjukkan pada dunia tentang kepemimpinan Amerika baik ide maupun tindakan.
WILSONIAN DIPLOMACY
Pecahnya perang pada musim panas tahun 1914 melalui gabungan elemen realis dan idealis yang walaupun berbeda pandangan tentang penyebab dan arti sebuah perang, namun mereka sama-sama setuju dengan kebutuhan untuk survival. Theodore Roosevelt seperti realis lainnya juga takut kemenangan Jerman akan membahayakan kepentingan Amerika Serikat. Dan Wilson dengan cepat mengalihkan perang menjadi perjuangan moral. Dan kehancuran perdamaian akan merusak system internasional. Dan ketika kapal selam Jerman membawa Amerika Serikat ke dalam perang. Wilson akan melakukan reformasi dunia melalui suara dominan untuk membangun struktur yang lebih damai pasca perang. Wilson berupaya untuk menghindari krisis seperti tahun 1914 yang membutuhkan perubahan kualitas tindakan nasional dan mekanisme internasional untuk menciptakan perdamaian. Solusi terbaik adalah dengan berdasar pada prinsip collective security dimana semua Negara cinta damai bergabung untuk melakukan aksi untuk menciptakan perdamaian. Selain itu, penting pula keberadaan institusi multilateral sebagai pelindung perdamaian dan pihak yang bisa menjalankan peraturan perundang-undangan. Selain itu, menurut Wilson untuk dunia yang damai dibutuhkan perluasan perdagangan dunia yang berjalan dibawah perjanjian yang menjamin akses yang sama bagi pasar dunia. Dan terakhir, tatanan dunia baru membutuhkan kepemimpinan aktif Amerika Serikat.
Selain itu, visi perdamaian Wilson juga membutuhkan fondasi demokratis yang dapat memastikan fusi-fusi penting untuk tujuan kebijakan dan tujuan moral. Wilson percaya, demokrasi akan mempertahankan perdamaian dengan anggapan kepentingan bersama akan menghilangkan konflik dan perang. Wilson juga memandang penting undang-undang untuk mempertahankan kedamaian.
Namun, asumsi penting tentang common interest dalam perdamaian ini tidak mengindahkan realita bahwa jika sebagian Negara menginginkan perdamaian, maka Negara lain menginginkan status quo dan sebagian lainnya tidak.
ISOLATIONISM, INTERNATIONALISM, AND WORLD WAR II
Isolationisme menegaskan bahwa Negara tidak mempunyai kepentingan ekstenal yang membolehkan penggunaan kekerasan untuk hal yang tidak berkaitan dengan negaranya. Sebaliknya, internasionalisme mendeklarasikan bahwa kepentingan Amerika ada dimana pun terjadi ancaman terhadap perdamaian dan hak asasi manusia. Setiap program yang dilakukan para internasionalis Amerika selama 2 dekade paska perang menolak pentingnya definisi yang tepat tentang akhir dan instrumen politik luar negeri Amerika.
THE COLD WAR
Pada tahun 1946, Clark Clifford, pejabat anti Soviet dan anggota Kongres melaporkan kepada Presiden Truman tentang ancaman ambisi Soviet yang pada saat itu fokus pada Yunani dan Turki. Sehingga pemerintah truman mengeluarkan Doktrin Truman. Dan kebijakan anti Soviet pun terus dikeluarkan selama 2 tahun berikutnya karena Amerika Serikat takut Uni Soviet akan terus menyebarkan komunisme ke seluruh dunia. Dan untuk Asia Timur, Amerika pun harus berhadapan dengan 2 masalah sekaligus, revolusi komunis di China dan Indochina yang memastikan ketakutan Amerika pada ekspansionisme Soviet. Pada tahun-tahun ini komunisme Uni Soviet sangat berkembang.
Pada Desember 1979, Amerika dibawah pemerintahan Carter juga bereaksi terhadap invasi Soviet ke Afganistan. Uni Soviet mengancam kepentingan Amerika dari Mediterania hingga Laut Jepang. Amerika khawatir Uni Soviet akan menggunakan Afganistan sebagai batu loncatan untuk mengontrol suplai minyak. Asumsi-asumsi bahwa Uni Soviet menginvasi Afganistan tersebar ke Selatan dan barat daya Asia. Dan invasi Soviet ini tersebar seperti deklarasi perang dingin. dan Amerika mengeluarkan anggaran yang besar untuk militer.
THE POST-COLD WAR ERA
Dengan berakhirnya perang dingin dan runtuhnya USSR pada 1990-1991, Amerika Serikat langsung menjadi satu-satunya super power. Di bawah kepeminpinan Bill Clinton, realisasi super power Amerika dibuktikan dengan peran Amerika dalam urusan-urusan dunia. Amerika berjanji akan memfokuskan kebijakan luar negerinya untuk tujuan menyebarkan demokrasi dan nilai kemanusiaan. Di masa Clinton pula lah Amerika melakukan intervensi ke Somalia, Haiti, dan Bosnia.
Secara umum, debat realis-idealis Amerika yang walaupun saling bergeser posisi, dan juga terjadi pertentangan antara tujuan dan asumsi realis-idealis. Namun dalam perkembangannya, tetap saja tidak ada pihak yang mengakui kekalahan masing-masing. Realis berpendapat bahwa kebijakan eksternal negara ditentukan kepentingan nasional dan keinginan untuk memaksimalkan stabilitas dan meminimalisir ancaman. Namun dalam prakteknya, realisme lah yang mendefinisikan seluruh formulasi fundamental kebijakan luar negeri Amerika kecuali untuk kasus perang di Kuba dan Asia Timur di abad 19 dan respon Wilson terhadap tantangan pada dekade interwar. Pengalaman panjang negara dalam formulasi kebijakan luar negeri mendemonstrasikan bahwa negara yang tidak mengindahkan kepentingan negara tidak akan bertahan lama.
Dua doktrin ini sangat berkembang di Amerika Serikat, tidak hanya itu, realisme dan idealisme benar-benar tumbuh baik secara teori maupun praktek di Amerika Serikat. Termasuk perdebatan antara dua doktrin ini. Perdebatan dasar antara dua doktrin ini terkait dengan kebutuhan dan kemungkinan bagi aksi-aksi eksternal dalam dunia yang anarki.
Pada dasarnya, kajian utama realisme selalu berkaitan dengan national interest dan security. Bagi realisme, tidak ada alternatif lain selain hidup berdampingan dalam dunia yang anarki dan menerika sistem negara modern sebagai sebuah keharusan. Selain itu, negara juga berkewajiban melindungi kepentingan nasional baik dengan diplomasi maupun dengan perang. Dan terkait fenomena perang, bagi realisme, perang bukanlah fenomena yang menyimpang. Namun, terkadang juga merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Secara umum, perang juga merupakan alat untuk melakukan perubahan kondisi politik dan teritorial yang tidak diinginkan.
Berbeda dengan realisme, idealisme memandangkan bahwa pertentangan baik dalam struktur nasional negara maupun dalam praktek internasional merupakan sesuatu yang tidak penting. Idealisme juga lebih fokus pada pada kesejahteraan individu dan juga kepentingan umum kemanusiaan. Dan juga mementingkan norma, hukum, dan prinsip-prinsip universal untuk dapat diaplikasikan dalam urusan-urusan domestik.
Terkait dengan determinan utama yang mempengaruhi tindakan negara dalam politik internasional. Realis beranggapan bahwa faktor-faktor eksternal yang mendefinisikan pilihan-pilihan bagi para pembuat keputusan. Pilihan-pilihan tersebut tidak pasti dan sulit dipahami serta membutuhkan kesiapan dan kewaspadaan untuk memutuskannya. Sebaliknya, idealisme memandang sumber dari tindakan aktor eksternal berasal dari proses politik internal, yaitu berdasarkan struktur politik, distribusi kekuatan politik, dan ambisi elit-elit berkuasa. Keterlibatan aktor-aktor eksternal bukanlah merupakan hal yang penting, dan pilihan internal merupakan hal paling penting. Bagi idealis, bentuk pemerintahan yang berbeda akan membentuk model kebijakan luar negeri yang berbeda pula.
Walaupun realis memandang negara sebagai aktor yang agresif. Namun, realis juga mengakui tentang keterbatasan niat dan kekuatan negara untuk mengintervensI yaitu kedaulatan nasional suatu negara. Sedangkan liberalisme, menaruh harapan yang besar terhadap diri mereka sendiri dan juga masyarakat. Bagi mereka, dunia tidak sepenuhnya korup. Melalui kepemimpinan dan motivasi yang tepat, dunia bisa baik secara politik maupun moral.
THE REVOLUSIONARY ERA
Idealis Amerika Serikat yang beranggapan untuk meminimalkan peran negara dalam power politic merupakan pengaruh debat politikus, dan jurnalis Inggris abad 18, walaupun Inggris dan koloni Amerikanya pernah terlibat pertentang setelah perang 7 tahun. Namun terdapat ikatan yang cukup kuat antara Inggris dan Amerika. Sehingga kemudian, seorang penulis Amerika bernama Thomas Paine menciptakan mata rantai antara pemikir reformis Inggris dengan koloninya. Dalam essainya berjudul Common Sense. Tulisan Paine ini memuat asumsi-asumsi fundamental pemikiran idealis dalam hal kebijakan luar negeri. Menurutnya, republik yang bebas dari kontaminasi dan desakan power politic secara ideal akan membentuk tatanan baru dalam world affairs. Selain itu, bagi Paine, pada dasarnya manusia bukanlah musuh bagi manusia lainnya. Namun karena system pemerintahan yang salah, manusia bisa menjadi musuh satu sama lain. Prinsip moral akan menciptakan perdamaian dalam hubungan antar individu, dan juga tidak mungkin akan mengatur tindakan Negara-negara.
Terdapat beberapa tokoh Amerika yang juga sepakat dengan pemikiran Paine, seperti Benjamin Franklin dan Thomas Jefferson. Namun, berbeda dengan Paine, Jefferson dipandang memiliki aspirasi yang lebih modern. Para konservatif modern mengkritik para utopian idealis Paine terkait dengan masa depan dunia dan peran Amerika Serikat dalam pembentukannya. Bagi mereka, yang menentukan tindakan eksternal suatu Negara bukanlah karena keunikan struktur politik mereka atau karena pandangan orang-orang di dalamnya, tapi adalah lingkungan internasional yang berada diluar kendali Negara, dan juga karena tuntutan yang dibebankan oleh ambisi Negara untuk menghalangi kepentingan Negara lain.
Alexander Hamilton dalam “The Federalis mengungkapkan bahwa world of power politic Amerika berada dalam bahaya. Beberapa orang Amerika, menurutnya terlalu senang dengan teori-teori yang menjanjikan mereka untuk bebas dari ketidaksempurnaan, kelemahan, dan kejahatan yang ada di dalam masyarakat dalam setiap bidang kehidupan. Akan lebih baik bagi Negara untuk menganggap bahwa kebijaksanaan dan kebaikan itu sama sekali tidak ada. Mencari harmoni antar Negara independen itu tidak mungkin dilakukan. Sehingga perang merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Untuk keamanan nasional, perlu pemerintahan yang kuat, memiliki kemampuan untuk berperang.
THE EARLY NATIONAL PERIOD
Revolusi Prancis dan perang revolusioner antara Prancis dan Inggris setelah tahun1792, semakin mambangkitkan pertentangan antara Jefferson da Hamilton, mentri luar negeri dan menteri keuangan kabinet presiden George Washington. Awalnya, idealis seperti Paine dan Jefferson sangat membenci power politic dan perang, dan realis seperti Hamilton mengajarkan kesiapan negara untuk berperang. Menurut idealisme, sewaktu revolusi prancis, Amerika Serikat seharusnya membantu Prancis. Sedangkan Hamilton dan Wasington cendrung lebih memilih untuk netral. Dan pilihan inilah yang dipakai oleh Presiden Wahington saat itu.
Jefferson, dalam perdebatan lainnya dengan Hamilton tentang kebijaksanaan dan moralitas dalam proklamasi Washington. Jefferson mendasarkan anjurannya agar Amerika membantu Prancis dalam perang revolusionernya pada kewajiban dibawah aliansi Franco-America tahun 1778. Selain itu, dukungan ini juga bentuk balasan atas bantuan Prancis terhadap Amerika selama perang melawan Inggris. Selain itu, Prancis juga merupakan negara republik seperi Amerika. Argumen Jefferson ini lebih berupa sentimen daripada kepentingan Amerika. Sehingga Hamilton pun mengkritik argumen ini dalam sebuah”long public letter-Pacificus” pada 6 juli1793. Menurut Hamilton, Amerika pada saat itu tidak memiliki kekuatan untuk membantu Prancis dalam perang Eropa. Tidak ada negara yang berkewajiban untuk melakukan hal yang tidak bisa ia lakukan. Selanjutnya terkait dengan bantuan Prancis diberikan pada Amerika saat perang dengan Inggris. Menurut Hamilton, Prancis memberikan bantuan kepada Amerika bukan demi menolong Amerika Serikat namun juga untuk memenuhi kepentinganya untuk mengalahkan Inggris. Pemerintah Amerika tidak bisa bertindak sebagai individu, negara harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya sepanjang waktu. Selain itu, Hamilton juga menolak bahwa penyebab terjadinya revolusi Prancis adalah karena “liberty” atau kegagalan prinsip revolusioner Prancis.
LATIN AMERICA AND GREECE
Pada tahun 1815, setelah menghadapi Inggris, terjadi ledakan nasionalisme dan perasaan sangat puas setelah berhadapan dengan Inggris. Di satu sisi, pengalaman perang ini merupakan kebanggaan berbeda dan terpisah dari Eropa dalam politik internasional. Selain itu juga semakin mengabadikan debat antara realisme dan idealisme di Amerika Serikat. Pasca perang, muncullah tantangan baru dalam sentimen Amerika, yaitu perjuangan Amerika Latin untuk merdeka dari Spanyol. Kembali, Amerika Serikat dituntut publik untuk membantu Amerika Latin. Namun Amerika yang pada saat itu dipimpin oleh Monroe bersama mentri luar negerinya Quincy Adam tetap bersikap netral hingga 1821. Ketika kekuatan revolusioner berhasil menghancurkan Spanyol di Amerika Selatan. Amerika melalui pesan khusus kepada Kongres mengungkapkan bahwa Amerika pada 8 Maret 1822 mengakui kemerdekaan Argentina, Peru, Chile, Columbia, dan Meksiko.
Peristiwa serupa pun terjadi di Yunani, yaitu revolusi Yunani pada tahun 1821. Sultan Turki mahmud II melawan revolusioner Yunani dengan kekerasan yang membangkitkan sentimen anti Turki di seluruh Eropa Barat dan Amerika Serikat. Amerika pun menunjukkan reaksinya melalui pernyataan Presiden Monroe bahwa Amerika menyayangkan kebijakan Turki yang sewenang-wenang. Namun Adam sangat menentang setiap campur tangan Amerika Serikat baik di Turki maupun Yunani terutama Amerika tidak siap untuk melakukan intervensi baik secara keuangan maupun militer. Sehingga, upaya untuk kemerdekaan Yunani kemudian dihapuskan dari dalam pertimbangan negara.
MONROE DOCTINE
Walaupun menjadi subjek kontroversi, Doktrin Monroe setelah pengumumannya pada1823 masih diperdebatkan artinya. Bagi realis, doktrin monroe merepresentasikan kepentingan fundamental untuk mempertahankan posisi negara sebagai kekuatan dominan di dunia. Bagi realisme, sangat realistis, bahwa tujuan Amerika adalah untuk mencegah munculnya kekuatan rival di dunia Barat. Dan Amerika Serikat memerlukan perang atau ancaman perang untuk melindungi kepentingan yang paling esensial. Sedangkan bagi idealisme, doktrin Monroe adalah deklarasi besar-besaran prinsip-prinsip liberal. Bagi idealis, Amerika Serikat mempromosikan kebebasan di Amerika Latin. Doktrin ini juga wujud nilai ideal demokrasi universal dan prinsip-prinsip abstrak yang akan mempengaruhi ekonomi dan keamanan Amerika. Berbeda dengan idealis, John Tyler memandang bahwa dalam prakteknya doktrin Monroe bukanlah prinsip tapi kebijakan.
WAR WITH SPAIN
Selama periode antara tahun 1815 hingga 1898. Idealisme dan realisme Amerika tetap terpisah. Yang satu berada di dunia opini, ide, dan moral. Selain yang lainnya, berada di dunia dengan kebijakan dan tindakan. Namun pada tahun 1898, pembagian tersebut mulai hilang. Gelombang semangat baru melawan realisme mulai muncul.
Setelah peristiwa pemberontakan Kuba pada Februari 1895, Junta Kuba yang bermasrkas di New York, dibantu Liga Kuba meluncurkan kampanye untuk keterlibatan Amerika Srikat dalam perjuangan Kuba untuk kemerdekaan. Dan pada 21 april Amerika Serikat memutuskan hubungan diplomatik dengan Spanyol dan mendeklarasikan perang untuk kemerdekaan Kuba.
Beberapa rakyat Amerika berupaya menjustifikasi perang tersebut dalam pengertian kemanusiaan. Motif seperti itu tidak aneh dalam pemikiran liberal Amerika.
CHINA AND OPEN DOOR POLICY
Kejadian di China menggambarkan bahwa keterlibatan Amerika semakin besar di Pasifik Barat. Setelah 1897, kelemahan politik dan militer China akan menyebakan pelanggaran yang mengancam status China menjadi negara kolonial. Pada saat pemerintahan Mc Kinley, melalui mentri luar negerinya John Hay yang mengeluarkan “Open Door Notes of 1899 and 1900” menyelamatkan China dari disintegrasi yang lebih parah. Pada akhirnya, intervensi Amerika Serikat di China menunjukkan pada dunia tentang kepemimpinan Amerika baik ide maupun tindakan.
WILSONIAN DIPLOMACY
Pecahnya perang pada musim panas tahun 1914 melalui gabungan elemen realis dan idealis yang walaupun berbeda pandangan tentang penyebab dan arti sebuah perang, namun mereka sama-sama setuju dengan kebutuhan untuk survival. Theodore Roosevelt seperti realis lainnya juga takut kemenangan Jerman akan membahayakan kepentingan Amerika Serikat. Dan Wilson dengan cepat mengalihkan perang menjadi perjuangan moral. Dan kehancuran perdamaian akan merusak system internasional. Dan ketika kapal selam Jerman membawa Amerika Serikat ke dalam perang. Wilson akan melakukan reformasi dunia melalui suara dominan untuk membangun struktur yang lebih damai pasca perang. Wilson berupaya untuk menghindari krisis seperti tahun 1914 yang membutuhkan perubahan kualitas tindakan nasional dan mekanisme internasional untuk menciptakan perdamaian. Solusi terbaik adalah dengan berdasar pada prinsip collective security dimana semua Negara cinta damai bergabung untuk melakukan aksi untuk menciptakan perdamaian. Selain itu, penting pula keberadaan institusi multilateral sebagai pelindung perdamaian dan pihak yang bisa menjalankan peraturan perundang-undangan. Selain itu, menurut Wilson untuk dunia yang damai dibutuhkan perluasan perdagangan dunia yang berjalan dibawah perjanjian yang menjamin akses yang sama bagi pasar dunia. Dan terakhir, tatanan dunia baru membutuhkan kepemimpinan aktif Amerika Serikat.
Selain itu, visi perdamaian Wilson juga membutuhkan fondasi demokratis yang dapat memastikan fusi-fusi penting untuk tujuan kebijakan dan tujuan moral. Wilson percaya, demokrasi akan mempertahankan perdamaian dengan anggapan kepentingan bersama akan menghilangkan konflik dan perang. Wilson juga memandang penting undang-undang untuk mempertahankan kedamaian.
Namun, asumsi penting tentang common interest dalam perdamaian ini tidak mengindahkan realita bahwa jika sebagian Negara menginginkan perdamaian, maka Negara lain menginginkan status quo dan sebagian lainnya tidak.
ISOLATIONISM, INTERNATIONALISM, AND WORLD WAR II
Isolationisme menegaskan bahwa Negara tidak mempunyai kepentingan ekstenal yang membolehkan penggunaan kekerasan untuk hal yang tidak berkaitan dengan negaranya. Sebaliknya, internasionalisme mendeklarasikan bahwa kepentingan Amerika ada dimana pun terjadi ancaman terhadap perdamaian dan hak asasi manusia. Setiap program yang dilakukan para internasionalis Amerika selama 2 dekade paska perang menolak pentingnya definisi yang tepat tentang akhir dan instrumen politik luar negeri Amerika.
THE COLD WAR
Pada tahun 1946, Clark Clifford, pejabat anti Soviet dan anggota Kongres melaporkan kepada Presiden Truman tentang ancaman ambisi Soviet yang pada saat itu fokus pada Yunani dan Turki. Sehingga pemerintah truman mengeluarkan Doktrin Truman. Dan kebijakan anti Soviet pun terus dikeluarkan selama 2 tahun berikutnya karena Amerika Serikat takut Uni Soviet akan terus menyebarkan komunisme ke seluruh dunia. Dan untuk Asia Timur, Amerika pun harus berhadapan dengan 2 masalah sekaligus, revolusi komunis di China dan Indochina yang memastikan ketakutan Amerika pada ekspansionisme Soviet. Pada tahun-tahun ini komunisme Uni Soviet sangat berkembang.
Pada Desember 1979, Amerika dibawah pemerintahan Carter juga bereaksi terhadap invasi Soviet ke Afganistan. Uni Soviet mengancam kepentingan Amerika dari Mediterania hingga Laut Jepang. Amerika khawatir Uni Soviet akan menggunakan Afganistan sebagai batu loncatan untuk mengontrol suplai minyak. Asumsi-asumsi bahwa Uni Soviet menginvasi Afganistan tersebar ke Selatan dan barat daya Asia. Dan invasi Soviet ini tersebar seperti deklarasi perang dingin. dan Amerika mengeluarkan anggaran yang besar untuk militer.
THE POST-COLD WAR ERA
Dengan berakhirnya perang dingin dan runtuhnya USSR pada 1990-1991, Amerika Serikat langsung menjadi satu-satunya super power. Di bawah kepeminpinan Bill Clinton, realisasi super power Amerika dibuktikan dengan peran Amerika dalam urusan-urusan dunia. Amerika berjanji akan memfokuskan kebijakan luar negerinya untuk tujuan menyebarkan demokrasi dan nilai kemanusiaan. Di masa Clinton pula lah Amerika melakukan intervensi ke Somalia, Haiti, dan Bosnia.
Secara umum, debat realis-idealis Amerika yang walaupun saling bergeser posisi, dan juga terjadi pertentangan antara tujuan dan asumsi realis-idealis. Namun dalam perkembangannya, tetap saja tidak ada pihak yang mengakui kekalahan masing-masing. Realis berpendapat bahwa kebijakan eksternal negara ditentukan kepentingan nasional dan keinginan untuk memaksimalkan stabilitas dan meminimalisir ancaman. Namun dalam prakteknya, realisme lah yang mendefinisikan seluruh formulasi fundamental kebijakan luar negeri Amerika kecuali untuk kasus perang di Kuba dan Asia Timur di abad 19 dan respon Wilson terhadap tantangan pada dekade interwar. Pengalaman panjang negara dalam formulasi kebijakan luar negeri mendemonstrasikan bahwa negara yang tidak mengindahkan kepentingan negara tidak akan bertahan lama.
Langganan:
Postingan (Atom)